veraveruchka's reviews
411 reviews

Cinta (Tidak Harus) Mati by Henry Manampiring

Go to review page

1.0

Seriously, why did I read this. Mungkin ini gara-gara cover yang lucu itu. Catchy. Juga mungkin karena buku ini geletakan di rak buku adik saya, sungguh menggoda.

Bagian pemaparan hasil survey...nggak tahu ini maksudnya apa. Beberapa lucu tapi kebanyakan tidak mengubah ekspresi datar saya. Bagian pemikiran random di belakang sedikit lebih mending...tapi entah kenapa saya menyelesaikan buku ini dengan kepala yang sedikit pusing. Good for you who can extract meaning from them, but I just can't.

Setelah saya membaca buku ini, saya merasa sangat beruntung karena bukan saya yang keluarin uang untuk membelinya. Setelah ini, saya nggak akan sembarangan lagi mencomot buku nganggur di rak buku adik saya.

Overall, maybe I would feel better if I read this so called reflection --no matter how nonsensical they are-- in their blog form, but in a book form? Not so much. Mungkin karena ketika saya membaca buku, saya mengharapkan ikatan makna, sesuatu yang bisa bikin saya mikir walau dilapis canda tawa. Kalau di blog, kadang saya cuma cari ketawanya doang, dan beberap bagian refleksi ini cukup bisa menyajikannya, walau...ya itu tadi. Banyak yang krik buat saya.

Saya akan berpikir berkali-kali kalau mau membaca buku karya selebtwit. Saya janji, Tuhan, saya janji.
Tiga Manula Jalan-Jalan ke Singapura by Benny Rachmadi

Go to review page

4.0

Dapet minjem dari lemari buku Adira Oktaroza, hehe. Dia ngumpulin komik-komik karangan Benny & Mice dari dulu, juga karangan masing-masing setelah berpisah. Kakaknya ini tinggal nebeng baca, hahaha.

Quick read (only 90 pages and most of it are pictures) but very refreshing! Sudut pandang trio manula lintas budaya dalam melihat Singapura dan sebagian kecil seluk-beluknya sangat menarik untuk dinikmati. Mungkin belum bikin pengen ke Singapura, tapi jadi pengen coba makanan Singapura. Roti Prata kayaknya enaaaak dicelup kari. Yumm~
Inheritance by Christopher Paolini

Go to review page

3.0

(review asli dapat dibaca pada http://veramaharani.blogspot.com/2012/07/book-for-breakfast-inheritance.html )

Saya menulis review ini beberapa hari sejak saya menamatkan bukunya. Otherwise, my review will contain a lot more fangirl-ish rant (I've been a fan of Inheritance Cycle since my 2nd year of Junior High School) and occasional blabber in ancient language. Sekarang juga sih, masih pengen ngomel-ngomel, tapi percayalah nggak sebanyak kalau saya langsung nulis review begitu tamat baca buku.

1. You know what is interesting about fantasy stories like The Inheritance Cycle? Akhirnya sudah jelas. Kebaikan menang. Kejahatan kalah. Jadi, sejak halaman pertama buku Eragon, saya tahu Eragon akan menang melawan Raja Galbatorix. Yang jadi permasalahan (dan yang membuatnya menarik) adalah bagaimana proses Eragon memenangkan itu. Selama tiga buku (Eragon, Eldest, Brisingr), saya sangat menikmati proses itu, jadi ekspektasi untuk buku keempat yang juga finale ini semakin meninggi. Di antara ekspektasi-ekspektasi itu adalah:

2. More great, epic battle, please! Preferably with Galbatorix directly involved. Dia tokoh antagonis utama, tapi seumur-umur belum tampak batang hidungnya (kalaupun sudah, saya lupa di buku berapa dan dalam event apa). Ya, Sauron di The Lord of The Ring juga sepanjang cerita berupa mata api di atas menara, nggak langsung berantem melawan pasukan gabungan Gondor-Rohan-Elf-Dwarf-ras lainnya, tapi ini kan beda kasus. Sauron memang nggak punya bentuk fisik, baru bisa kembali kalau dia mendapatkan Cincin. Sementara Galbatorix kuat, nggak terkalahkan, tapi penampilan paling mencoloknya cuma lewat tubuh Murtagh dan Thorn di Brisingr. Semoga Christopher Paolini melakukan ini atas nama save the best for the last.

3. Misteri-misteri pada buku sebelumnya akhirnya terjawab. Misalnya "siapa penunggang naga berikutnya?" Dengan pengembangan plot dan karakter yang begitu keren di buku 1-3, sekarang kandidat untuk menjadi penunggang naga terakhir di Kekaisaran makin meluas. Apakah itu Arya, elf wanita romantic-interest Eragon? Apakah itu Roran, sepupu Eragon yang ternyata punya kharisma memimpin, kecerdikan, dan kemampuan bertarung luar biasa? Apakah itu Nasuada, pemimpin kaum Varden? Atau tokoh-tokoh yang jarang diperhitungkan, misalnya Jormundur, Elva...atau mungkin kurcaci dan Urgal yang sepanjang sejarah nggak pernah jadi penunggang naga? Apakah penunggang terakhir akan berada di pihak kaum Varden atau Galbatorix? Ah...curiosity makes me itch.

4. MORE ROMANCE PLEASE. Sepanjang seri ini, adegan romansanya...mana? Yang mendekati, paling waktu Eragon nembak Arya setelah Agaeti Blodhren, setelah itu..na-da. Sementara itu, ramalan Angela di Teirm mengatakan bahwa Eragon akan memiliki kisah cinta dengan seorang wanita dari keturunan bangsawan...obviously Arya. No, it must be Arya *fangirl-ish screech* But at this rate I would be happy if Eragon ends up with anyone, as long as there's some kind of romance in this book.

Bagaimana ekspektasi-ekspektasi tersebut terjawab?

Well, yang pertama, the battles are epic. Memuaskan. Skalanya meningkat dan semakin serius, which is great for a finale. Bahkan pertempuran-pertempuran yang nggak melibatkan Eragon secara langsung pun ditulis dengan sangat baik (misalnya pertempuran di Aroughs, yang SANGAT menonjolkan peran Roran). Pada saat membaca mengenai pertempuran, rasanya merinding, perlu berhenti sejenak untuk menarik nafas dan menghilangkan adegan gore di otak, terus bersyukur itu cuma ada di buku. Is it that good? Yep.

Galbatorix juga muncul di sini, tapi...agak membuat kecewa. Galbatorix tidak tampak seperti all-powerful-king yang bikin menderita kekaisaran selama berpuluh-puluh tahun. Caranya dituliskan membuat dia tampak seperti penjahat pada umumnya, yang kebetulan kuat karena punya Eldunari. Mungkin karena di sini dia jarang ditampilkan menggunakan kemahiran bertarungnya. Saya berharap Galbatorix ditulis lebih mengesankan daripada itu. However, poin positifnya, Galbatorix digambarkan sebagai seseorang yang juga fighting for a cause, no matter how twisted that cause is. So Galbatorix is not simply cruel because he is cruel. There's a depth in his character. Well, not much depth, but I think I have to applaud that.

Banyak juga misteri yang belum terjawab di buku ini (I won't say which). Mungkin ini karena Paolini mengungkapkan bahwa dia akan menulis lagi cerita terkait dengan Alagaesia (dunia tempat Eragon tinggal), walaupun dia pun belum yakin kapan (YES, PLEASE DO, PAOLINI-ELDA *happy fangirl*). Mungkin juga sebenarnya ada misteri yang terjawab dalam The Inheritance Almanac, buku pendamping resmi, semacam ensiklopedia untuk seri Inheritance Cycle. Saya belum tahu, belum baca, baru merencanakan beli versi bahasa Indonesia yang sebenarnya sudah cukup lama beredar di pasaran.

Mengenai penunggang naga baru dan jawaban dari pertanyaan 'siapakah naga hijau yang jadi cover buku ini?' itu terjawab, tapi tidak dengan memuaskan. I mean...I was expecting more surprise, maybe more angst...and it's just too...predictable. Here's a not-so-happy fangirl...

And one thing that makes me more unhappy as a fangirl is the lack of romance. Apakah semua tokoh di novel ini harus banget digambarkan sebagai tentara yang mementingkan tugas daripada perasaan? Yeah, oke sih kalau memang itu karakter yang diperlukan, mengingat sebagian besar dari mereka dibesarkan dalam didikan Varden dan tujuan utama mereka adalah menggulingkan Galbatorix, tapi harus banget seketat itu ya? Or is it simply because Paolini cringe at the thought of writing about romance? Another big mystery.

Poin positif lainnya dari buku ini adalah pengembangan karakter. I admire especially Roran, Murtagh, and Nasuada. Eragon adalah protagonis utama dari cerita ini, tapi pada buku keempat dia justru nggak terlalu tampak heroik. Kemenangannya kebanyakan karena bantuan orang lain. Sepanjang buku ini, saya membayangkan Eragon sebagai tokoh remaja berusia 15 tahun, sama seperti di awal buku pertama, padahal seharusnya Eragon sudah banyak berkembang, baik secara fisik maupun mental. Di lain pihak, Roran adalah karakter yang menarik walaupun dalam pertempuran dia agak mengingatkan saya pada Chuck Norris, hehe. Motivasinya hampir tunggal, yaitu Katrina dan anaknya yang belum lahir, dan kadang-kadang rasa cintanya pada desa Carvahall, tapi justru ini membuat dia jadi terasa konsisten dan simpatik. Yah, bagaimanapun dia kan anak gunung yang paling banter jadi pandai besi kalau hidupnya normal, tapi kecemplung masuk perang karena kebetulan sepupunya penunggang naga. Sementara itu Nasuada adalah karakter wanita yang teguh, kuat, dan akan membuat Kartini bangga...tapi di buku ini saya juga bisa melihat kelemahannya, which make her feels more human. Murtagh adalah tokoh yang penuh angst, dan pada akhirnya di sini saya bisa mengerti karakter dia, membuat perasaan antara cinta dan benci yang saya rasakan padanya, akhirnya bisa lebih condong pada 'cinta'. Sekarang saya ngerti kenapa sobat saya Emma Kusuma Dewi punya ketertarikan pada tokoh Murtagh sejak awal...he is interesting, Em, that I approve.

Yah, Inheritance bagi saya bagaikan jawaban dari pertanyaan 'kenapa fanfiction dibuat?' Begitu banyak gap yang bisa diisi, plot yang dapat dipelintir sesuai dengan keinginan fans. Membacanya merupakan kegiatan yang menyenangkan, tapi masih belum sampai memuaskan. Seiring dengan bertambahnya jumlah halaman yang saya baca, skala pertempuran bertambah, sayang emosi menurun. Karakter-karakternya jadi kurang terasa 'manusia', padahal di depan udah keren. Saya jadi berpikir, mungkin ini karena Paolini udah diteror deadline, mungkin juga death-threat, because, honestly, the waiting from 'Brisingr' to 'Inheritance' is too long.

Jadi, walaupun saya adalah fangirl, maafkan saya, Paolini-elda, karena saya cuma bisa ngasih 3 dari 5 bintang...
Handle with Care by Jodi Picoult

Go to review page

3.0

My feeling when reading this book is like following a normal curve.
Starting with "So it's like My Sister's Keeper, complete with changing POV and overprotective mother and a sister who feels abandoned, only with other disease as a focus. This time it's osteogenesis imperfecta. Hmm...at least I'm curious about this disease." I haven't read too much Picoult's works but the similarity just pops out. The lawsuit which become the center of the story, heartbreaking take of the life of a severe disease patient and her family... feels like I have read it somewhere. Also, everyone keeps referring to the reader as 'you', like they supposed to be telling this to Willow (the OI patient), which is sometimes I think is unnecessary. I get it, it makes the reader become more involved with the story. It is kind of make sense when the one who tell the story is from Willow's family or someone who is close enough to Willow, but the lawyer? Hello? Although her subplot is heartbreaking on its own, I treat it as a different story, not really related to the main plot.

Then the story grows so intense, at some point I cry like a baby. These characters feels so human. They made wrong choices, wrong decision, but I can't hate them. I just wish the story will end happily for everyone involved (which is so unlikely. This is not Stephenie Meyer's novel).

And then...the ending. Oh God, the ending. Please don't let me comment on the ending, I have too much to complain. It feels like everything build up nicely to the climax and then...smashed just like that addjfiejsjkdidkss just conclude that I hate the ending. Also, what's it with the recipes scattered throughout the pages? They are mouthwatering, alright, and they can also serve as culinary inspiration when I feel like cooking...but I don't think it's really important for the story. It's like two dishes that should be served on different occassion.

Overall it's an enjoyable read. It also makes you think about many things, especially about the life of people with disability, adopted children, and what is really important in life. It might be more enjoyable if you don't compare it with My Sister's Keeper with every turn of pages, like I did.
The Woman in Black by Susan Hill

Go to review page

3.0

Kalau ingat Woman in Black, ingat juga suatu hari di mana saya terjebak di Nangor karena pulang kemalaman. Terus ketemu Age di Jatos dan secara impulsif memutuskan untuk nonton bareng.

"Tapi nonton apaan?"
"Gak tau. Naon we lah. Yang serem yuk."
"Sok berani luh."

Dan karena pilihannya antara "Nenek Gayung" dan "Woman in Black"...udah jelas kan ya pilihannya yang mana. Waktu itu nggak tau ini cerita apaan, sempet ketawa-ketawa nggak jelas karena Daniel Radcliffe di otak kami masih Harry Potter banget tapi di film ini kok kayak abah-abah. Namun adegan pertama di film ini sanggup bikin kami teriak-teriak ("JANGAAAN LONCAAAAT!" "BENGAAAAAK!")...yang berlanjut secara random di sepanjang film. That day I cursed more than I've done in my entire life (excluding curses I muttered in Russian/German), and the film remains my favourite horror movie of all time.

Beberapa saat setelah nonton, akhirnya tahu bahwa film itu diangkat dari sebuah novel karya Susan Hill. Langsung janji sama diri sendiri pengen beli. Now here I am, with this book in my clutch. Let's see how this book will turn out, bengak-an mana, versi film apa bukunya.

Setelah baca
Karena ketertarikan nonton film ini diawali oleh terkesannya (atau lebih bener kalau disebut "terpekik-pekik cupu ketakutan") saya pada filmnya, maka maafkan kalau dalam review ini kesannya saya membanding-bandingkan buku dengan filmnya. Juga maafkan kalau ini mungkin terkesan spoilery, walau saya berusaha keras agar tidak seperti itu. Jadi buat anda yang belum (dan berencana untuk )nonton filmnya, saya sarankan untuk berhenti membaca.

Woman in Black berkisah mengenai Arthur Kipps, seorang solicitor (apa ya bahasa Indonesianya, notaris?) muda yang ditugaskan untuk mengurus berkas-berkas milik Alice Drablow, seorang wanita tua penyendiri yang tinggal di Eel Marsh House, Crythin Gifford, desa kecil di pinggiran Inggris. Ternyata dia menemukan bahwa mengurus berkas-berkas Alice Drablow tidak semudah yang dia pikirkan sebelumnya. Bukan karena Alice Drablow memiliki terlalu banyak aset, namun karena kehadiran Woman in Black, sosok wanita misterius yang terusik oleh Arthur serta berbagai kehororan yang menyertainya. Siapakah Woman in Black dan mengapa ia mengganggu Arthur? Apakah Arthur berhasil menyelesaikan tugasnya dengan selamat di Eel Marsh House?

Formula kengerian di Woman in Black sungguh klasik. Rumah tua terpencil yang akan langsung terputus dari peradaban apabila air laut pasang, lengkap dengan kabut yang turun tiba-tiba dan pemakaman tua di dekatnya. Kematian wanita tua eksentrik yang penyendiri, meninggalkan banyak misteri. Kemunculan sosok wanita bercadar hitam misterius, yang setiap kali terlihat, akan ada tumbal nyawa yang jatuh. Yang menambah kemirisan lagi, nyawa yang jatuh itu pastilah anak-anak.

Dengan formula kengerian yang sudah teruji itu, tidak sulit sebenarnya bagi Woman in Black, baik film maupun bukunya, untuk membangkitkan bulu roma. Deskripsi mendetail fisik dan suasana Crythin Gifford (Eel Marsh House khususnya) mampu membangkitkan imajinasi tentang muramnya sebuah desa kecil di Inggris yang berada dalam kondisi mendung dan berkabut secara hampir konstan. Latar yang dibangun sempurna untuk kemunculan fokus utama kengerian : penampakan sang Woman in Black yang meminta tumbal. Namun bagi saya, film Woman in Black lebih melibatkan emosi penontonnya, dibandingkan dengan bukunya. Hal itu terjadi bukan hanya karena faktor film adalah karya audiovisual, sementara kenikmatan buku lebih tergantung pada imajinasi pembacanya, meskipun jelas nuansa warna serta akting di filmnya sangat membantu saya "terpekik-pekik cupu ketakutan."

Terus kalau bukan hanya itu, apa saja?
1. Arthur Kipps di buku sebagian besar diceritakan sebagai seorang solicitor muda yang bermasa depan cerah. Dia adalah salah satu kolega yang diandalkan firmanya, serta memiliki tunangan cantik bernama Stella yang akan dinikahinya. Penugasan Arthur ke Crythin Gifford disambutnya dengan bersemangat, hampir-hampir terasa seperti liburan. Dengan demikian, walaupun cuaca dan suasana Crythin Gifford begitu muram, Arthur di buku langsung mengalihkan perhatian ke hal-hal lain yang 'hangat' dan 'ceria' untuk menghilangkan ketakutannya sendiri. Kadang-kadang, Arthur sangat berhasil sampai ketakutan pembaca ikut menghilang juga.

Di film, Arthur Kipps adalah seorang duda yang ditinggal istrinya, Stella, yang meninggal saat melahirkan anak mereka, Joseph. Kesedihan karena ditinggal istrinya dan harus membesarkan anaknya sendiri ini membuat Arthur kehilangan fokus dalam pekerjaannya. Arthur hampir dipecat jika dia tidak bisa melaksanakan tugasnya di Crythin Gifford dengan baik, sehingga kepergian Arthur ke desa itu sangat terasa suram dan terpaksa. Apa lagi, dia sebenarnya sudah berjanji untuk bermain bersama Joseph seandainya dia tidak pergi bekerja. Gambaran Arthur yang dibayangi kesedihan, dan terus menerus mengecek gambar yang dibuatkan Joseph untuk membuatnya bertahan, jauh terasa lebih simpatik.

2. Kemunculan Woman in Black di film penyebabnya sangat jelas. Dia akan menampakkan diri apabila ada orang yang datang ke Eel Marsh House. Oleh karena itu, penduduk desa sangat tidak ramah pada Arthur saat tahu Arthur datang untuk mengurus berkas aset milik Mrs. Drablow di rumah itu. Pemilik penginapan dan notaris setempat hampir-hampir mengusir Arthur secara terbuka. Sayang, Arthur tidak bisa pulang begitu saja karena pekerjaannya jadi taruhan.

Di buku, kemunculan Woman in Black random banget. Kayaknya dia muncul khusus buat nakut-nakutin Arthur. Walaupun di sini penduduk desa juga nggak mau mendekati Eel Marsh House, mereka tetap bersikap ramah pada Arthur karena...well, Arthur nggak melanggar tabu apa-apa. Dia cuma sial aja.

3.
Spoiler Kemunculan Woman in Black akan diikuti oleh kematian anak-anak di Crythin Gifford. Di film, kematian ini datang secara hampir kontan. Arthur bahkan sempat melihat sendiri kematian beberapa anak, sempat berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan anak-anak tersebut dan gagal. Hal ini membuat Arthur sangat terpukul, membuatnya tampak makin putus asa seiring berjalannya waktu. Apa lagi dia sendiri punya anak, Joseph, dan dia pasti tidak akan tahan kalau dia kehilangan anaknya. Orang-orang desa makin kasar terhadap Arthur karena mereka tahu pasti kematian anak-anak ini disebabkan oleh ulah Arthur. Arthur benar-benar tertekan oleh keadaan. Di satu sisi dia memang tidak mau datang lagi ke Eel Marsh House dan melihat kematian lebih banyak anak-anak, namun di sisi lain, dia tidak akan bisa membiayai hidup Joseph kalau dia meninggalkan pekerjaan ini. Karena itulah, Arthur menguatkan dirinya untuk memecahkan misteri Woman in Black. Mencari tahu apa maunya hantu wanita itu sehingga jiwanya bisa menjadi damai.

Walaupun tentu saja bermalam di Eel Marsh House dan ngeliat Woman in Black adalah pengalaman menyeramkan, Arthur di buku lebih cupu daripada Arthur di film. Dia tidak terdorong untuk memecahkan misteri Woman in Black, latar belakang Woman in Black ditemukannya secara hampir tidak sengaja. Kematian anak-anak di buku...well, katakan saja tidak semencekam penggambaran di film. Lagipula Arthur belum punya anak, sehingga kejadian itu tidak mengguncang kondisi psikologisnya sekuat di film. Plus, kemunculan Woman in Black yang random membuat Arthur tidak begitu merasa bertanggung jawab. Beda banget sama Arthur di film yang tahu pasti kedatangannya di Eel Marsh House lah yang memicu kemunculan Woman in Black dan membuat anak-anak itu mati. "Anak-anak itu mati karena gue...gue melihat Woman in Black. Eh tapi nggak deng, gue nggak ngapa-ngapain selain...apaan, naik sepeda, jalan-jalan sama anjing, ngobrol-ngobrol soal cuaca! Kenapa Woman in Black hanya muncul di depan gue deh? Kenapa nggak muncul random di depan orang lain aja?" protes Arthur di buku. Eh, iya juga sih.


Overall, buku ini lumayan bikin merinding. Kenyataan bahwa penampakan rumah saya sedikit mirip penggambaran Eel Marsh House, ditambah mendung menggantung saat saya membacanya, sama sekali nggak membantu menghilangkan rindingan itu. Hanya saja, di buku, pemeran utama tidak memiliki keterlibatan emosional dengan peristiwa di Crythin Gifford sedalam yang digambarkan di film. Ujung-ujungnya, kita sebagai pembaca juga nggak begitu terlibat. Di beberapa bagian, deskripsinya terlalu ceria. Kasian aja, karena sebelumnya penulis udah susah payah membangun suasana biar mencekam. Jadi, buku ini cocok banget buat orang-orang yang ingin baca buku horor tapi nggak mau terlalu ketakutan.

Buat orang-orang yang mau dibikin kaget, ngeri, teriak-teriak...serius deh, tinggalkan aja bukunya dan pergi nonton filmnya.
The Little Prince: Pangeran Kecil by Antoine de Saint-Exupéry

Go to review page

5.0

I will make this book a compulsory read for my children, and talk with them about what they learn afterwards. It's interesting that so many different meaning can be extracted from such a short read!
The Tale of Despereaux - Kisah Despereaux by Kate DiCamillo

Go to review page

4.0

Hal pertama yang membuat saya tertarik pada buku ini adalah sampulnya. Pada saat pertama kali saya melihatnya (sekitar 5 tahun yang lalu) warna sampulnya yang kecokelatan, gambar tikus mungil bertelinga terlalu besar yang membawa jarum yang bahkan lebih panjang dari tubuhnya, serta jenis font yang menyusun judulnya selalu menarik perhatian saya. Saya bukan expert soal per-cover-an, mungkin hal ini terjadi karena cover bukunya sesuai dengan selera saya, dan entah bagaimana cocok dengan isi ceritanya, yang mengisahkan kehidupan tokoh-tokoh berlatar belakang sebuah kastil.

Sebenarnya kisah dalam buku ini sederhana, dengan tokoh-tokoh yang tidak sempurna dan keanehan masing-masing. Namun begitu juga pada dunia nyata, tidak ada yang sempurna dan sepenuhnya 'normal', bukan? Suasana kastil yang ditampilkan juga tidak terlalu penuh warna dan kegembiraan seperti yang sering ditampilkan novel anak-anak. Bagi orang-orang yang membaca dengan harapan akan menemukan petualangan akbar yang menegangkan (seperti yang mungkin dapat dipersepsi dari sinopsis yang disediakan penerbit) mungkin akan kecewa karena dalam buku ini, Anda tidak akan menemukan petualangan semacam itu. Anda justru akan menemukan kisah tokoh-tokoh yang dituturkan secara lembut, dongeng sederhana yang menyentuh, tidak meletup-letup. Walaupun novel ini (sepertinya) ditujukan untuk anak-anak eberapa bagian membuat masih saya mengernyit, karena terasa seperti ungkapan satir mengenai kehidupan (entah apakah anak-anak akan menikmati itu)

Namun melalui buku ini, Kate DiCamillo menyampaikan pada pembacanya bahwa Anda tidak perlu menjadi seseorang yang sempurna untuk memiliki harapan yang tinggi. Dan jelas, Anda tidak perlu menjadi orang yang sempurna dengan lingkungan yang sepenuhnya mendukung untuk mewujudkan harapan itu.

Pada akhirnya, buku ini mengingatkan kita bahwa setiap mimpi mungkin terpenuhi, walaupun tidak selalu sesuai dengan bayangan kita pada awalnya.
Indahnya Kebenaran by Chiung Yao

Go to review page

2.0

Akhir yang agak mengecewakan untuk konflik yang sudah dibangun apik di buku satu dan dua. Ada perasaan seperti, "udah nih? Gini aja nih?" setelah membacanya. Untungnya, masih ada seri Putri Huan Zhu II, jadi saya tahu memang cerita ini nggak cuma "gini aja"...