Take a photo of a barcode or cover
veraveruchka's reviews
415 reviews
The Tale of Despereaux - Kisah Despereaux by Kate DiCamillo
4.0
Hal pertama yang membuat saya tertarik pada buku ini adalah sampulnya. Pada saat pertama kali saya melihatnya (sekitar 5 tahun yang lalu) warna sampulnya yang kecokelatan, gambar tikus mungil bertelinga terlalu besar yang membawa jarum yang bahkan lebih panjang dari tubuhnya, serta jenis font yang menyusun judulnya selalu menarik perhatian saya. Saya bukan expert soal per-cover-an, mungkin hal ini terjadi karena cover bukunya sesuai dengan selera saya, dan entah bagaimana cocok dengan isi ceritanya, yang mengisahkan kehidupan tokoh-tokoh berlatar belakang sebuah kastil.
Sebenarnya kisah dalam buku ini sederhana, dengan tokoh-tokoh yang tidak sempurna dan keanehan masing-masing. Namun begitu juga pada dunia nyata, tidak ada yang sempurna dan sepenuhnya 'normal', bukan? Suasana kastil yang ditampilkan juga tidak terlalu penuh warna dan kegembiraan seperti yang sering ditampilkan novel anak-anak. Bagi orang-orang yang membaca dengan harapan akan menemukan petualangan akbar yang menegangkan (seperti yang mungkin dapat dipersepsi dari sinopsis yang disediakan penerbit) mungkin akan kecewa karena dalam buku ini, Anda tidak akan menemukan petualangan semacam itu. Anda justru akan menemukan kisah tokoh-tokoh yang dituturkan secara lembut, dongeng sederhana yang menyentuh, tidak meletup-letup. Walaupun novel ini (sepertinya) ditujukan untuk anak-anak eberapa bagian membuat masih saya mengernyit, karena terasa seperti ungkapan satir mengenai kehidupan (entah apakah anak-anak akan menikmati itu)
Namun melalui buku ini, Kate DiCamillo menyampaikan pada pembacanya bahwa Anda tidak perlu menjadi seseorang yang sempurna untuk memiliki harapan yang tinggi. Dan jelas, Anda tidak perlu menjadi orang yang sempurna dengan lingkungan yang sepenuhnya mendukung untuk mewujudkan harapan itu.
Pada akhirnya, buku ini mengingatkan kita bahwa setiap mimpi mungkin terpenuhi, walaupun tidak selalu sesuai dengan bayangan kita pada awalnya.
Sebenarnya kisah dalam buku ini sederhana, dengan tokoh-tokoh yang tidak sempurna dan keanehan masing-masing. Namun begitu juga pada dunia nyata, tidak ada yang sempurna dan sepenuhnya 'normal', bukan? Suasana kastil yang ditampilkan juga tidak terlalu penuh warna dan kegembiraan seperti yang sering ditampilkan novel anak-anak. Bagi orang-orang yang membaca dengan harapan akan menemukan petualangan akbar yang menegangkan (seperti yang mungkin dapat dipersepsi dari sinopsis yang disediakan penerbit) mungkin akan kecewa karena dalam buku ini, Anda tidak akan menemukan petualangan semacam itu. Anda justru akan menemukan kisah tokoh-tokoh yang dituturkan secara lembut, dongeng sederhana yang menyentuh, tidak meletup-letup. Walaupun novel ini (sepertinya) ditujukan untuk anak-anak eberapa bagian membuat masih saya mengernyit, karena terasa seperti ungkapan satir mengenai kehidupan (entah apakah anak-anak akan menikmati itu)
Namun melalui buku ini, Kate DiCamillo menyampaikan pada pembacanya bahwa Anda tidak perlu menjadi seseorang yang sempurna untuk memiliki harapan yang tinggi. Dan jelas, Anda tidak perlu menjadi orang yang sempurna dengan lingkungan yang sepenuhnya mendukung untuk mewujudkan harapan itu.
Pada akhirnya, buku ini mengingatkan kita bahwa setiap mimpi mungkin terpenuhi, walaupun tidak selalu sesuai dengan bayangan kita pada awalnya.
Indahnya Kebenaran by Chiung Yao
2.0
Akhir yang agak mengecewakan untuk konflik yang sudah dibangun apik di buku satu dan dua. Ada perasaan seperti, "udah nih? Gini aja nih?" setelah membacanya. Untungnya, masih ada seri Putri Huan Zhu II, jadi saya tahu memang cerita ini nggak cuma "gini aja"...
Antologi Rasa by Ika Natassa
3.0
Before reading : What to expect? A lot of my friends (especially Cabul) love this book so much. I've put off reading this book because I tend to not reading 'mainstream' and 'popular' book (subjective opinion, really), but now let's see if I'm ready to jump into the bandwagon of Ika Natassa's very enthusiastic fans.
After reading :
Antologi Rasa. 339 mg. Prescribed by Ika Natassa. Complete with general warning on the cover :
Prolonged delusion --Nope.
Hyper-romanticism -- err...still nope.
Temporary insanity -- you're being hyperbolic, aren't you.
Insomnia -- I admit I stayed up late to read this until the voices in my head finally forced me to give up ("Ver, buru tidur, kamu harus ngambil data skripsi besok!" Well, damned voices)
Selective memory loss -- *forgetting skripsi for a while and continue reading*
Spontaneous crying -- are you kidding me. Some characters cry but I...just watch their pouring emotion with stoic expression.
uncontrollable giggles -- The analogies used are brilliant, especially when the story is told from Harris' POV.
changes in appetite -- Eat? What eat? *continue reading*
irresistible urge to write quotes -- THIS IS SO TRUE
compulsive buying -- Nope, don't have the money.
unexplainable peace of mind -- ...naaah.
I like it well enough. This book is like a piece of diabetic-inducing sweets that is my guilty pleasure but eventually I have to stop because I know it's not good for my health in the long run.
A good dip into the life of young and 'successful' executives who got caught in a tangled web of love, hate, and friendship. Well written, I should say. The characters feels contradictive sometimes, but it's okay. Written in alternate first person POV, but sometimes I feel like reading same person narrating. Maybe it's because the characters are actually more similar than they thought. The difference are maybe Harris is slightly funnier, Keara rambled a little bit more about brands and John Mayer, Ruly is slightly more reserved, and Panji...why was he given one insignificant narrating part anyway.
So much description of alcohols that I wonder if real executives really drink a lot like this. But who am I to say, I don't live in Keara, Harris, and Ruly's world, and I'm satisfied enough to just have this glimpse to their world.
After reading :
Antologi Rasa. 339 mg. Prescribed by Ika Natassa. Complete with general warning on the cover :
Prolonged delusion --Nope.
Hyper-romanticism -- err...still nope.
Temporary insanity -- you're being hyperbolic, aren't you.
Insomnia -- I admit I stayed up late to read this until the voices in my head finally forced me to give up ("Ver, buru tidur, kamu harus ngambil data skripsi besok!" Well, damned voices)
Selective memory loss -- *forgetting skripsi for a while and continue reading*
Spontaneous crying -- are you kidding me. Some characters cry but I...just watch their pouring emotion with stoic expression.
uncontrollable giggles -- The analogies used are brilliant, especially when the story is told from Harris' POV.
changes in appetite -- Eat? What eat? *continue reading*
irresistible urge to write quotes -- THIS IS SO TRUE
compulsive buying -- Nope, don't have the money.
unexplainable peace of mind -- ...naaah.
I like it well enough. This book is like a piece of diabetic-inducing sweets that is my guilty pleasure but eventually I have to stop because I know it's not good for my health in the long run.
A good dip into the life of young and 'successful' executives who got caught in a tangled web of love, hate, and friendship. Well written, I should say. The characters feels contradictive sometimes, but it's okay. Written in alternate first person POV, but sometimes I feel like reading same person narrating. Maybe it's because the characters are actually more similar than they thought. The difference are maybe Harris is slightly funnier, Keara rambled a little bit more about brands and John Mayer, Ruly is slightly more reserved, and Panji...why was he given one insignificant narrating part anyway.
So much description of alcohols that I wonder if real executives really drink a lot like this. But who am I to say, I don't live in Keara, Harris, and Ruly's world, and I'm satisfied enough to just have this glimpse to their world.
The Art of Racing in the Rain by Garth Stein
3.0
Saya membeli buku ini pada sebuah sore yang diwarnai impulsivitas di sebuah toko buku impor bekas. Setelah sekitar satu jam menimbang-nimbang apakah akan membeli ini atau Love in The Time of Cholera karya Gabriel Garcia Marquez, saya akhirnya memilih membeli buku ini. Pertimbangannya, buku Garcia Marquez yang diloak itu ada lebih dari satu. Buku ini cuma satu. Belum tentu saya bertemu dia lagi pada kunjungan impulsif saya yang berikutnya. Selanjutnya, buku ini saya dapatkan edisi hard cover dengan kondisi cukup bagus, sementara buku Garcia Marquez cuma saya temukan versi paperback-nya. Akhir-akhir ini saya ngefans berlebihan pada buku hardcover, mereka nggak gampang rusak dan tampak bagus di rak buku, hahaha. Punten ya Mbah Garcia Marquez, mungkin lain kali.
Walaupun alasan utama pemilihan buku ini rada nggak penting, tapi sungguh saya tertarik. Sebuah cerita yang dituturkan dari sudut pandang anjing? Bukan ide yang sepenuhnya baru, tapi masih tidak biasa. Dan sinopsis buku ini menjanjikan sang anjing berfilosofi tentang hidup pula. Sungguh menggelitik.
Buku ini bercerita tentang Enzo, seekor anjing yang terobsesi untuk menjadi manusia pada kehidupan selanjutnya, dan keluarga pemiliknya, Dennis Swift. Dennis Swift (atau lebih akrab dipanggil dengan sebutan Denny) adalah seorang pembalap di Seattle. Sebagai anjing milik seorang pembalap, Enzo pun memiliki ketertarikan pada bidang yang sama dengan Denny : Balap Mobil. Enzo suka sekali menonton video mengenai balap mobil sambil mengaitkannya dengan filosofi kehidupan. Enzo juga suka sekali berperan sebagai anggota keluarga yang suportif bagi Denny serta istri dan anak perempuannya.
Kehidupan keluarga kecil yang damai itu diguncang oleh kematian Eve, istri Denny. Denny yang kariernya sebagai pembalap belum ajeg kini harus mengasuh Zoe, putri semata wayangnya, sendirian. Denny tidak keberatan dengan itu, namun mertuanya yang sejak awal kurang suka dengannya berkeras untuk mengambil alih hak asuh Zoe. Pada masa-masa berat ini, Enzo dengan setia mendampingi dan menuturkan kisah Denny, sambil memelihara harapan bahwa suatu hari nanti dia, Denny, dan Zoe dapat bersatu kembali sebagai satu keluarga.
Overall, this book is an interesting and enjoyable read. Cara Enzo bercerita membuat saya langsung memikirkan cerita ini sebagai sebuah film, dengan narasi Enzo yang terdengar seperti diisi oleh Tobey Maguire (I watch Cats and Dogs too many times as a child). Menarik sekali membaca bagaimana Enzo menjelaskan perilaku kehewanan-nya dengan alasan yang hampir manusiawi, lalu mengeluh, "gestures are all I have. I wish I have shorter tongue, I wish I can speak". Melalui mata Enzo, kita dapat melihat tokoh manusia di sini dengan cara yang berbeda. Denny, yang disebut-sebut Enzo dengan penuh kekaguman ("He's so brilliant. He shines..." begitu secara eksplisit Enzo menjabarkan pemiliknya). Eve, yang padanya Enzo merasakan badai cinta dan cemburu. Zoe, yang Enzo sudah bersumpah akan jaga sejak awal kelahirannya. Juga tokoh-tokoh lain seperti mertua dan teman-teman Denny, semua diceritakan dengan kesan pertama dan intuisi seekor anjing.
Then why do I give this book 3 stars instead of 5, or at least 4, because this book is soooo interesting and sooo enjoyable?
Pada awal-awal buku, di mana kita baru mengenal masing-masing tokoh dan kehidupannya, saya merasa terhanyut. Keuntungan menceritakan kisah ini lewat mata Enzo adalah kita bisa turut menyaksikan peristiwa-peristiwa pribadi yang tersembunyi dari mata tokoh lain. Dia kan anjing, nggak ada yang khawatir kalau dia ada di dalam ruangan sementara rokoh-tokoh antagonis sedang merancang rencana jahat, toh dia nggak akan bocorin pada orang lain.
Namun menuju akhir, banyak bagian cerita yang hilang (buat saya) karena Enzo tidak dapat hadir di sana. Misalnya (dan yang paling mencolok) adalah intrik persidangan Denny dalam usahanya mempertahankan Zoe. Ya mana bolehlah Enzo nyelonong masuk ruang sidang, ngedeprok di sebelah Denny sambil memperhatikan, mengaitkan jalannya sidang dengan filosofi balapan, dan sesekali menggonggong? Walaupun kayaknya menarik kalau itu bisa terjadi, let's face it, di ruang sidang anjing dilarang masuk.
Satu lagi...
Deus ex machina, deus ex machina everywhere. Walaupun saya turut bahagia karena rentetan deus ex machina itu membuat kondisi berat Denny sedikit lebih dapat tertanggungkan, rasanya jadi kurang menyentuh aja. Pada satu sisi, ini membuat kita yakin bahwa keajaiban itu ada dan bisa terjadi jika kita percaya, namun di sisi lain...saya rasa saya butuh lebih banyak terlibat dalam konflik emosi para tokoh, biar saya bisa lebih-lebih simpati lagi.
Namun buku ini tetap buku yang menarik. Jujur, sulit untuk menaruh buku ini ketika sudah mulai membaca. Sebagai (mantan) penonton setia F1 zaman Schumi masih membalap dan bersaing dengan Mika Hakkinen (dan nggak ngerti apa enaknya nonton F1 di sirkuit sementara mobil-mobil itu cuma melesat di depan kita dalam sepersekian detik), saya kagum bahwa banyak sekali dalam balapan yang bisa menjadi metafora kehidupan. Pokoknya buku ini bertaburan quotes bermakna seputar hidup dan balapan, ditingkahi celotehan ringan Enzo yang menyatukan dengan baik kebijaksanaan dan kekonyolan anjing.
Izinkanlah saya mengakhiri review ini dengan mengangkat gelas sampanye (berisi teh manis, hahaha), menyampaikan 'Bravo!' pada Garth Stein atas karyanya yang menyenangkan, dan mengucapkan satu baris kalimat favorit saya dalam buku ini:
"To live every day as if it had been stolen from death, that is how I would like to live. To feel the joy of life... To separate oneself from the burden, the angst, the anguish that we all encounter every day. To say I am alive, I am wonderful, I am. I am. That is something to aspire to."
Ciao!
Walaupun alasan utama pemilihan buku ini rada nggak penting, tapi sungguh saya tertarik. Sebuah cerita yang dituturkan dari sudut pandang anjing? Bukan ide yang sepenuhnya baru, tapi masih tidak biasa. Dan sinopsis buku ini menjanjikan sang anjing berfilosofi tentang hidup pula. Sungguh menggelitik.
Buku ini bercerita tentang Enzo, seekor anjing yang terobsesi untuk menjadi manusia pada kehidupan selanjutnya, dan keluarga pemiliknya, Dennis Swift. Dennis Swift (atau lebih akrab dipanggil dengan sebutan Denny) adalah seorang pembalap di Seattle. Sebagai anjing milik seorang pembalap, Enzo pun memiliki ketertarikan pada bidang yang sama dengan Denny : Balap Mobil. Enzo suka sekali menonton video mengenai balap mobil sambil mengaitkannya dengan filosofi kehidupan. Enzo juga suka sekali berperan sebagai anggota keluarga yang suportif bagi Denny serta istri dan anak perempuannya.
Kehidupan keluarga kecil yang damai itu diguncang oleh kematian Eve, istri Denny. Denny yang kariernya sebagai pembalap belum ajeg kini harus mengasuh Zoe, putri semata wayangnya, sendirian. Denny tidak keberatan dengan itu, namun mertuanya yang sejak awal kurang suka dengannya berkeras untuk mengambil alih hak asuh Zoe. Pada masa-masa berat ini, Enzo dengan setia mendampingi dan menuturkan kisah Denny, sambil memelihara harapan bahwa suatu hari nanti dia, Denny, dan Zoe dapat bersatu kembali sebagai satu keluarga.
Overall, this book is an interesting and enjoyable read. Cara Enzo bercerita membuat saya langsung memikirkan cerita ini sebagai sebuah film, dengan narasi Enzo yang terdengar seperti diisi oleh Tobey Maguire (I watch Cats and Dogs too many times as a child). Menarik sekali membaca bagaimana Enzo menjelaskan perilaku kehewanan-nya dengan alasan yang hampir manusiawi, lalu mengeluh, "gestures are all I have. I wish I have shorter tongue, I wish I can speak". Melalui mata Enzo, kita dapat melihat tokoh manusia di sini dengan cara yang berbeda. Denny, yang disebut-sebut Enzo dengan penuh kekaguman ("He's so brilliant. He shines..." begitu secara eksplisit Enzo menjabarkan pemiliknya). Eve, yang padanya Enzo merasakan badai cinta dan cemburu. Zoe, yang Enzo sudah bersumpah akan jaga sejak awal kelahirannya. Juga tokoh-tokoh lain seperti mertua dan teman-teman Denny, semua diceritakan dengan kesan pertama dan intuisi seekor anjing.
Then why do I give this book 3 stars instead of 5, or at least 4, because this book is soooo interesting and sooo enjoyable?
Pada awal-awal buku, di mana kita baru mengenal masing-masing tokoh dan kehidupannya, saya merasa terhanyut. Keuntungan menceritakan kisah ini lewat mata Enzo adalah kita bisa turut menyaksikan peristiwa-peristiwa pribadi yang tersembunyi dari mata tokoh lain. Dia kan anjing, nggak ada yang khawatir kalau dia ada di dalam ruangan sementara rokoh-tokoh antagonis sedang merancang rencana jahat, toh dia nggak akan bocorin pada orang lain.
Namun menuju akhir, banyak bagian cerita yang hilang (buat saya) karena Enzo tidak dapat hadir di sana. Misalnya (dan yang paling mencolok) adalah intrik persidangan Denny dalam usahanya mempertahankan Zoe. Ya mana bolehlah Enzo nyelonong masuk ruang sidang, ngedeprok di sebelah Denny sambil memperhatikan, mengaitkan jalannya sidang dengan filosofi balapan, dan sesekali menggonggong? Walaupun kayaknya menarik kalau itu bisa terjadi, let's face it, di ruang sidang anjing dilarang masuk.
Satu lagi...
Deus ex machina, deus ex machina everywhere. Walaupun saya turut bahagia karena rentetan deus ex machina itu membuat kondisi berat Denny sedikit lebih dapat tertanggungkan, rasanya jadi kurang menyentuh aja. Pada satu sisi, ini membuat kita yakin bahwa keajaiban itu ada dan bisa terjadi jika kita percaya, namun di sisi lain...saya rasa saya butuh lebih banyak terlibat dalam konflik emosi para tokoh, biar saya bisa lebih-lebih simpati lagi.
Namun buku ini tetap buku yang menarik. Jujur, sulit untuk menaruh buku ini ketika sudah mulai membaca. Sebagai (mantan) penonton setia F1 zaman Schumi masih membalap dan bersaing dengan Mika Hakkinen (dan nggak ngerti apa enaknya nonton F1 di sirkuit sementara mobil-mobil itu cuma melesat di depan kita dalam sepersekian detik), saya kagum bahwa banyak sekali dalam balapan yang bisa menjadi metafora kehidupan. Pokoknya buku ini bertaburan quotes bermakna seputar hidup dan balapan, ditingkahi celotehan ringan Enzo yang menyatukan dengan baik kebijaksanaan dan kekonyolan anjing.
Izinkanlah saya mengakhiri review ini dengan mengangkat gelas sampanye (berisi teh manis, hahaha), menyampaikan 'Bravo!' pada Garth Stein atas karyanya yang menyenangkan, dan mengucapkan satu baris kalimat favorit saya dalam buku ini:
"To live every day as if it had been stolen from death, that is how I would like to live. To feel the joy of life... To separate oneself from the burden, the angst, the anguish that we all encounter every day. To say I am alive, I am wonderful, I am. I am. That is something to aspire to."
Ciao!
Catatan Mahasiswa Gila by Adhitya Mulya
3.0
Nemu buku ini geletakan di "mini-library" BPM Unpad dan tertarik untuk minjem sebentar. Maklum, satu dari sedikit buku yang nggak berbau politik atau geologi peninggalan senior tauk zaman kapan. Buku ini mulai dibaca lepas maghrib dan sekarang sudah selesai. Coba skripsi kek yang diselesaiin cepet kayak gitu. HAHAHA *ketawa getir.
Ada satu yang kepikiran pada saat baca judulnya (dan semua buku semicurhat nasib mahasiswa lainnya yang juga menggunakan judul yang senada) : kenapa sih harus 'catatan mahasiswa gila'? Mungkin karena kesannya lucu, ringan. Mungkin juga yang demikian mempermudah para pembaca (terutama yang mahasiswa) untuk mengaitkan dengan pengalaman pribadinya. Ya, kan, banyak mahasiswa yang (menurut pengamatan pribadi saya) melabeli dirinya sendiri seperti itu, semacam peyorasi dalam konsep diri. Mungkin ya, mungkin.
Bahasanya kocak, seperti yang diperkirakan, but nothing too outrageous. Sebenarnya buat saya sih itu hal yang bagus, karena bisa merelasikan dengan pengalaman sendiri sambil menikmati percikan keunikan di sana-sini. Iya lah, Adhitya Mulya (bukan Aditya, Adithya, atau Adithyia ya, teman-teman...hehe) kan di sini menceritakan pengalamannya sebagai mahasiswa teknik sipil ITB dulu. Joke-nya banyak menyitir tentang beton dan sedikitnya populasi wanita di kampusnya. Lha saya, mahasiswi psikologi, nggak ada hubungannya sama beton dan sejauh mata memandang di kampus terlihat wanita, pria malah langka seperti anoa. Menarik aja melihat persamaan dan perbedaan kehidupan bermahasiswa kita...namun satu yang jelas, di manapun kuliahnya, rasanya sama menggilanya. Kita para mahasiswa ini satu jiwa, Kamerad.
Bagian paling disukai? Nggak banyak joke yang merendahkan diri sendiri. Kelucuan nggak dilakukan atas nama pengen aneh aja. Juga suka cara Adhitya menarik pembelajaran dari kehidupan bermahasiswanya. Bukan cuma haha-hihi ngelucu-lucuin kelulusan yang lama datangnya.
Setelah baca buku ini, jadi ingin nulis sendiri pengalaman hidup jungkir balik gelindingan sebagai mahasiswa psikologi. Moga-moga buku itu nantinya pantas diberi judul 'Catatan Mahasiswa Cumlaude'.
:) aamiin.
Ada satu yang kepikiran pada saat baca judulnya (dan semua buku semicurhat nasib mahasiswa lainnya yang juga menggunakan judul yang senada) : kenapa sih harus 'catatan mahasiswa gila'? Mungkin karena kesannya lucu, ringan. Mungkin juga yang demikian mempermudah para pembaca (terutama yang mahasiswa) untuk mengaitkan dengan pengalaman pribadinya. Ya, kan, banyak mahasiswa yang (menurut pengamatan pribadi saya) melabeli dirinya sendiri seperti itu, semacam peyorasi dalam konsep diri. Mungkin ya, mungkin.
Bahasanya kocak, seperti yang diperkirakan, but nothing too outrageous. Sebenarnya buat saya sih itu hal yang bagus, karena bisa merelasikan dengan pengalaman sendiri sambil menikmati percikan keunikan di sana-sini. Iya lah, Adhitya Mulya (bukan Aditya, Adithya, atau Adithyia ya, teman-teman...hehe) kan di sini menceritakan pengalamannya sebagai mahasiswa teknik sipil ITB dulu. Joke-nya banyak menyitir tentang beton dan sedikitnya populasi wanita di kampusnya. Lha saya, mahasiswi psikologi, nggak ada hubungannya sama beton dan sejauh mata memandang di kampus terlihat wanita, pria malah langka seperti anoa. Menarik aja melihat persamaan dan perbedaan kehidupan bermahasiswa kita...namun satu yang jelas, di manapun kuliahnya, rasanya sama menggilanya. Kita para mahasiswa ini satu jiwa, Kamerad.
Bagian paling disukai? Nggak banyak joke yang merendahkan diri sendiri. Kelucuan nggak dilakukan atas nama pengen aneh aja. Juga suka cara Adhitya menarik pembelajaran dari kehidupan bermahasiswanya. Bukan cuma haha-hihi ngelucu-lucuin kelulusan yang lama datangnya.
Setelah baca buku ini, jadi ingin nulis sendiri pengalaman hidup jungkir balik gelindingan sebagai mahasiswa psikologi. Moga-moga buku itu nantinya pantas diberi judul 'Catatan Mahasiswa Cumlaude'.
:) aamiin.
Sang Mahasiswa dan Sang Wanita: Serta Beberapa Cerita Lain dari Hungaria by Fuad Hassan, Fuad Hassan
3.0
Penerjemahan pada beberapa bagian sulit saya mengerti, atau mungkin memang begitu gaya penulis aslinya.
Kumpulan cerpen yang cukup bisa membuat kita membayangkan bagaimana Hungaria di masa lalu. Nama-nama yang asing serta kehidupan yang berbeda, namun perasaan-perasaan yang universal dan bisa kita pahami -cepat atau lambat.
Secara garis besar, bacaan yang ringan dan cukup membuka wawasan
Kumpulan cerpen yang cukup bisa membuat kita membayangkan bagaimana Hungaria di masa lalu. Nama-nama yang asing serta kehidupan yang berbeda, namun perasaan-perasaan yang universal dan bisa kita pahami -cepat atau lambat.
Secara garis besar, bacaan yang ringan dan cukup membuka wawasan
The Tales of Beedle the Bard by J.K. Rowling
4.0
Oh, J.K. Rowling. Saya bisa ngomong apa lagi soal kemampuannya membuat kita merasa dibawa ke dunia lain lewat tulisannya. Saat baca buku ini, saya merasa kayak Muggle beruntung yang bisa ngintip baca dongeng-dongeng penyihir. Cerita-cerita ini pasti 'baru' diciptakan imajinasi Rowling, tapi entah bagaimana saya bisa percaya bahwa ini adalah dongeng-dongeng yang diwariskan, turun-temurun, di dunia sihir di luar sana.
(Reminder #38 setelah mulai baca buku ini : 'There's no such thing as 'Dunia sihir di luar sana', heh Ver -,-")
Saya rasa, seri Harry Potter akan jadi seperti 'Lima Sekawan' buat saya dan ibu saya. Cerita yang akan saya baca bersama anak saya pada hari-hari yang hangat ataupun dingin, dilanjutkan diskusi panjang untuk memuaskan keingintahuan anak saya setelahnya. "Ini buku seri beken banget lho waktu Mama kecil," saya akan bilang begitu, dan pupil mata anak saya akan melebar mendengarnya. Saya bisa membayangkan 'Harry Potter' menjadi salah satu hal yang membuat masa kecil saya dan masa kecil mereka menjadi dua waktu yang tidak seberapa jauhnya. Walaupun buku ini termasuk yang paling 'baru' dalam buku-buku terkait Harry Potter, saya rasa cerita ini akan jadi yang saya perkenalkan duluan. A nice alternative to Cinderella and Sleeping Beauty and those fairy tales which promote passivity as a woman's virtue, as Rowling herself has said in the introduction. The morals of the story has been conveniently stated by Dumbledore at the end of every story, but we are welcomed to extract another meaning more relevant to our Muggle life.
Satu-satunya yang belum membuat saya puas dalam buku ini adalah kurangnya 'jejak' Hermione dalam buku ini, padahal menurut sampul, buku ini diterjemahkan Hermione dari Rune kuno. Yah, ini minor banget, tapi saya rasa Hermione bisa banget nambah-nambahin komentar atau apa buat pembaca Muggle. Hahaha, apa banget ya saya ini.
Overall, this book will be cherished for years and passed to my children, sometimes in the (hopefully near) future!
(Reminder #38 setelah mulai baca buku ini : 'There's no such thing as 'Dunia sihir di luar sana', heh Ver -,-")
Saya rasa, seri Harry Potter akan jadi seperti 'Lima Sekawan' buat saya dan ibu saya. Cerita yang akan saya baca bersama anak saya pada hari-hari yang hangat ataupun dingin, dilanjutkan diskusi panjang untuk memuaskan keingintahuan anak saya setelahnya. "Ini buku seri beken banget lho waktu Mama kecil," saya akan bilang begitu, dan pupil mata anak saya akan melebar mendengarnya. Saya bisa membayangkan 'Harry Potter' menjadi salah satu hal yang membuat masa kecil saya dan masa kecil mereka menjadi dua waktu yang tidak seberapa jauhnya. Walaupun buku ini termasuk yang paling 'baru' dalam buku-buku terkait Harry Potter, saya rasa cerita ini akan jadi yang saya perkenalkan duluan. A nice alternative to Cinderella and Sleeping Beauty and those fairy tales which promote passivity as a woman's virtue, as Rowling herself has said in the introduction. The morals of the story has been conveniently stated by Dumbledore at the end of every story, but we are welcomed to extract another meaning more relevant to our Muggle life.
Satu-satunya yang belum membuat saya puas dalam buku ini adalah kurangnya 'jejak' Hermione dalam buku ini, padahal menurut sampul, buku ini diterjemahkan Hermione dari Rune kuno. Yah, ini minor banget, tapi saya rasa Hermione bisa banget nambah-nambahin komentar atau apa buat pembaca Muggle. Hahaha, apa banget ya saya ini.
Overall, this book will be cherished for years and passed to my children, sometimes in the (hopefully near) future!