veraveruchka's reviews
411 reviews

Antologi Rasa by Ika Natassa

Go to review page

3.0

Before reading : What to expect? A lot of my friends (especially Cabul) love this book so much. I've put off reading this book because I tend to not reading 'mainstream' and 'popular' book (subjective opinion, really), but now let's see if I'm ready to jump into the bandwagon of Ika Natassa's very enthusiastic fans.

After reading :
Antologi Rasa. 339 mg. Prescribed by Ika Natassa. Complete with general warning on the cover :

Prolonged delusion --Nope.
Hyper-romanticism -- err...still nope.
Temporary insanity -- you're being hyperbolic, aren't you.
Insomnia -- I admit I stayed up late to read this until the voices in my head finally forced me to give up ("Ver, buru tidur, kamu harus ngambil data skripsi besok!" Well, damned voices)
Selective memory loss -- *forgetting skripsi for a while and continue reading*
Spontaneous crying -- are you kidding me. Some characters cry but I...just watch their pouring emotion with stoic expression.
uncontrollable giggles -- The analogies used are brilliant, especially when the story is told from Harris' POV.
changes in appetite -- Eat? What eat? *continue reading*
irresistible urge to write quotes -- THIS IS SO TRUE
compulsive buying -- Nope, don't have the money.
unexplainable peace of mind -- ...naaah.

I like it well enough. This book is like a piece of diabetic-inducing sweets that is my guilty pleasure but eventually I have to stop because I know it's not good for my health in the long run.

A good dip into the life of young and 'successful' executives who got caught in a tangled web of love, hate, and friendship. Well written, I should say. The characters feels contradictive sometimes, but it's okay. Written in alternate first person POV, but sometimes I feel like reading same person narrating. Maybe it's because the characters are actually more similar than they thought. The difference are maybe Harris is slightly funnier, Keara rambled a little bit more about brands and John Mayer, Ruly is slightly more reserved, and Panji...why was he given one insignificant narrating part anyway.

So much description of alcohols that I wonder if real executives really drink a lot like this. But who am I to say, I don't live in Keara, Harris, and Ruly's world, and I'm satisfied enough to just have this glimpse to their world.
The Art of Racing in the Rain by Garth Stein

Go to review page

3.0

Saya membeli buku ini pada sebuah sore yang diwarnai impulsivitas di sebuah toko buku impor bekas. Setelah sekitar satu jam menimbang-nimbang apakah akan membeli ini atau Love in The Time of Cholera karya Gabriel Garcia Marquez, saya akhirnya memilih membeli buku ini. Pertimbangannya, buku Garcia Marquez yang diloak itu ada lebih dari satu. Buku ini cuma satu. Belum tentu saya bertemu dia lagi pada kunjungan impulsif saya yang berikutnya. Selanjutnya, buku ini saya dapatkan edisi hard cover dengan kondisi cukup bagus, sementara buku Garcia Marquez cuma saya temukan versi paperback-nya. Akhir-akhir ini saya ngefans berlebihan pada buku hardcover, mereka nggak gampang rusak dan tampak bagus di rak buku, hahaha. Punten ya Mbah Garcia Marquez, mungkin lain kali.

Walaupun alasan utama pemilihan buku ini rada nggak penting, tapi sungguh saya tertarik. Sebuah cerita yang dituturkan dari sudut pandang anjing? Bukan ide yang sepenuhnya baru, tapi masih tidak biasa. Dan sinopsis buku ini menjanjikan sang anjing berfilosofi tentang hidup pula. Sungguh menggelitik.

Buku ini bercerita tentang Enzo, seekor anjing yang terobsesi untuk menjadi manusia pada kehidupan selanjutnya, dan keluarga pemiliknya, Dennis Swift. Dennis Swift (atau lebih akrab dipanggil dengan sebutan Denny) adalah seorang pembalap di Seattle. Sebagai anjing milik seorang pembalap, Enzo pun memiliki ketertarikan pada bidang yang sama dengan Denny : Balap Mobil. Enzo suka sekali menonton video mengenai balap mobil sambil mengaitkannya dengan filosofi kehidupan. Enzo juga suka sekali berperan sebagai anggota keluarga yang suportif bagi Denny serta istri dan anak perempuannya.

Kehidupan keluarga kecil yang damai itu diguncang oleh kematian Eve, istri Denny. Denny yang kariernya sebagai pembalap belum ajeg kini harus mengasuh Zoe, putri semata wayangnya, sendirian. Denny tidak keberatan dengan itu, namun mertuanya yang sejak awal kurang suka dengannya berkeras untuk mengambil alih hak asuh Zoe. Pada masa-masa berat ini, Enzo dengan setia mendampingi dan menuturkan kisah Denny, sambil memelihara harapan bahwa suatu hari nanti dia, Denny, dan Zoe dapat bersatu kembali sebagai satu keluarga.

Overall, this book is an interesting and enjoyable read. Cara Enzo bercerita membuat saya langsung memikirkan cerita ini sebagai sebuah film, dengan narasi Enzo yang terdengar seperti diisi oleh Tobey Maguire (I watch Cats and Dogs too many times as a child). Menarik sekali membaca bagaimana Enzo menjelaskan perilaku kehewanan-nya dengan alasan yang hampir manusiawi, lalu mengeluh, "gestures are all I have. I wish I have shorter tongue, I wish I can speak". Melalui mata Enzo, kita dapat melihat tokoh manusia di sini dengan cara yang berbeda. Denny, yang disebut-sebut Enzo dengan penuh kekaguman ("He's so brilliant. He shines..." begitu secara eksplisit Enzo menjabarkan pemiliknya). Eve, yang padanya Enzo merasakan badai cinta dan cemburu. Zoe, yang Enzo sudah bersumpah akan jaga sejak awal kelahirannya. Juga tokoh-tokoh lain seperti mertua dan teman-teman Denny, semua diceritakan dengan kesan pertama dan intuisi seekor anjing.

Then why do I give this book 3 stars instead of 5, or at least 4, because this book is soooo interesting and sooo enjoyable?

Pada awal-awal buku, di mana kita baru mengenal masing-masing tokoh dan kehidupannya, saya merasa terhanyut. Keuntungan menceritakan kisah ini lewat mata Enzo adalah kita bisa turut menyaksikan peristiwa-peristiwa pribadi yang tersembunyi dari mata tokoh lain. Dia kan anjing, nggak ada yang khawatir kalau dia ada di dalam ruangan sementara rokoh-tokoh antagonis sedang merancang rencana jahat, toh dia nggak akan bocorin pada orang lain.

Namun menuju akhir, banyak bagian cerita yang hilang (buat saya) karena Enzo tidak dapat hadir di sana. Misalnya (dan yang paling mencolok) adalah intrik persidangan Denny dalam usahanya mempertahankan Zoe. Ya mana bolehlah Enzo nyelonong masuk ruang sidang, ngedeprok di sebelah Denny sambil memperhatikan, mengaitkan jalannya sidang dengan filosofi balapan, dan sesekali menggonggong? Walaupun kayaknya menarik kalau itu bisa terjadi, let's face it, di ruang sidang anjing dilarang masuk.

Satu lagi...

Deus ex machina, deus ex machina everywhere. Walaupun saya turut bahagia karena rentetan deus ex machina itu membuat kondisi berat Denny sedikit lebih dapat tertanggungkan, rasanya jadi kurang menyentuh aja. Pada satu sisi, ini membuat kita yakin bahwa keajaiban itu ada dan bisa terjadi jika kita percaya, namun di sisi lain...saya rasa saya butuh lebih banyak terlibat dalam konflik emosi para tokoh, biar saya bisa lebih-lebih simpati lagi.

Namun buku ini tetap buku yang menarik. Jujur, sulit untuk menaruh buku ini ketika sudah mulai membaca. Sebagai (mantan) penonton setia F1 zaman Schumi masih membalap dan bersaing dengan Mika Hakkinen (dan nggak ngerti apa enaknya nonton F1 di sirkuit sementara mobil-mobil itu cuma melesat di depan kita dalam sepersekian detik), saya kagum bahwa banyak sekali dalam balapan yang bisa menjadi metafora kehidupan. Pokoknya buku ini bertaburan quotes bermakna seputar hidup dan balapan, ditingkahi celotehan ringan Enzo yang menyatukan dengan baik kebijaksanaan dan kekonyolan anjing.

Izinkanlah saya mengakhiri review ini dengan mengangkat gelas sampanye (berisi teh manis, hahaha), menyampaikan 'Bravo!' pada Garth Stein atas karyanya yang menyenangkan, dan mengucapkan satu baris kalimat favorit saya dalam buku ini:

"To live every day as if it had been stolen from death, that is how I would like to live. To feel the joy of life... To separate oneself from the burden, the angst, the anguish that we all encounter every day. To say I am alive, I am wonderful, I am. I am. That is something to aspire to."

Ciao!
Catatan Mahasiswa Gila by Adhitya Mulya

Go to review page

3.0

Nemu buku ini geletakan di "mini-library" BPM Unpad dan tertarik untuk minjem sebentar. Maklum, satu dari sedikit buku yang nggak berbau politik atau geologi peninggalan senior tauk zaman kapan. Buku ini mulai dibaca lepas maghrib dan sekarang sudah selesai. Coba skripsi kek yang diselesaiin cepet kayak gitu. HAHAHA *ketawa getir.

Ada satu yang kepikiran pada saat baca judulnya (dan semua buku semicurhat nasib mahasiswa lainnya yang juga menggunakan judul yang senada) : kenapa sih harus 'catatan mahasiswa gila'? Mungkin karena kesannya lucu, ringan. Mungkin juga yang demikian mempermudah para pembaca (terutama yang mahasiswa) untuk mengaitkan dengan pengalaman pribadinya. Ya, kan, banyak mahasiswa yang (menurut pengamatan pribadi saya) melabeli dirinya sendiri seperti itu, semacam peyorasi dalam konsep diri. Mungkin ya, mungkin.

Bahasanya kocak, seperti yang diperkirakan, but nothing too outrageous. Sebenarnya buat saya sih itu hal yang bagus, karena bisa merelasikan dengan pengalaman sendiri sambil menikmati percikan keunikan di sana-sini. Iya lah, Adhitya Mulya (bukan Aditya, Adithya, atau Adithyia ya, teman-teman...hehe) kan di sini menceritakan pengalamannya sebagai mahasiswa teknik sipil ITB dulu. Joke-nya banyak menyitir tentang beton dan sedikitnya populasi wanita di kampusnya. Lha saya, mahasiswi psikologi, nggak ada hubungannya sama beton dan sejauh mata memandang di kampus terlihat wanita, pria malah langka seperti anoa. Menarik aja melihat persamaan dan perbedaan kehidupan bermahasiswa kita...namun satu yang jelas, di manapun kuliahnya, rasanya sama menggilanya. Kita para mahasiswa ini satu jiwa, Kamerad.

Bagian paling disukai? Nggak banyak joke yang merendahkan diri sendiri. Kelucuan nggak dilakukan atas nama pengen aneh aja. Juga suka cara Adhitya menarik pembelajaran dari kehidupan bermahasiswanya. Bukan cuma haha-hihi ngelucu-lucuin kelulusan yang lama datangnya.

Setelah baca buku ini, jadi ingin nulis sendiri pengalaman hidup jungkir balik gelindingan sebagai mahasiswa psikologi. Moga-moga buku itu nantinya pantas diberi judul 'Catatan Mahasiswa Cumlaude'.

:) aamiin.
Sang Mahasiswa dan Sang Wanita: Serta Beberapa Cerita Lain dari Hungaria by Fuad Hassan, Fuad Hassan

Go to review page

3.0

Penerjemahan pada beberapa bagian sulit saya mengerti, atau mungkin memang begitu gaya penulis aslinya.
Kumpulan cerpen yang cukup bisa membuat kita membayangkan bagaimana Hungaria di masa lalu. Nama-nama yang asing serta kehidupan yang berbeda, namun perasaan-perasaan yang universal dan bisa kita pahami -cepat atau lambat.
Secara garis besar, bacaan yang ringan dan cukup membuka wawasan
The Tales of Beedle the Bard by J.K. Rowling

Go to review page

4.0

Oh, J.K. Rowling. Saya bisa ngomong apa lagi soal kemampuannya membuat kita merasa dibawa ke dunia lain lewat tulisannya. Saat baca buku ini, saya merasa kayak Muggle beruntung yang bisa ngintip baca dongeng-dongeng penyihir. Cerita-cerita ini pasti 'baru' diciptakan imajinasi Rowling, tapi entah bagaimana saya bisa percaya bahwa ini adalah dongeng-dongeng yang diwariskan, turun-temurun, di dunia sihir di luar sana.

(Reminder #38 setelah mulai baca buku ini : 'There's no such thing as 'Dunia sihir di luar sana', heh Ver -,-")

Saya rasa, seri Harry Potter akan jadi seperti 'Lima Sekawan' buat saya dan ibu saya. Cerita yang akan saya baca bersama anak saya pada hari-hari yang hangat ataupun dingin, dilanjutkan diskusi panjang untuk memuaskan keingintahuan anak saya setelahnya. "Ini buku seri beken banget lho waktu Mama kecil," saya akan bilang begitu, dan pupil mata anak saya akan melebar mendengarnya. Saya bisa membayangkan 'Harry Potter' menjadi salah satu hal yang membuat masa kecil saya dan masa kecil mereka menjadi dua waktu yang tidak seberapa jauhnya. Walaupun buku ini termasuk yang paling 'baru' dalam buku-buku terkait Harry Potter, saya rasa cerita ini akan jadi yang saya perkenalkan duluan. A nice alternative to Cinderella and Sleeping Beauty and those fairy tales which promote passivity as a woman's virtue, as Rowling herself has said in the introduction. The morals of the story has been conveniently stated by Dumbledore at the end of every story, but we are welcomed to extract another meaning more relevant to our Muggle life.

Satu-satunya yang belum membuat saya puas dalam buku ini adalah kurangnya 'jejak' Hermione dalam buku ini, padahal menurut sampul, buku ini diterjemahkan Hermione dari Rune kuno. Yah, ini minor banget, tapi saya rasa Hermione bisa banget nambah-nambahin komentar atau apa buat pembaca Muggle. Hahaha, apa banget ya saya ini.

Overall, this book will be cherished for years and passed to my children, sometimes in the (hopefully near) future!
A Walk to Remember by Nicholas Sparks

Go to review page

4.0

Saya termasuk orang yang skeptis terhadap Sparks. Oke, dia penulis bagus. Oke, dia kayaknya punya satu lemari besar berisi ide siapa-jatuh-cinta-sama-siapa-karena-apa. Tapi setelah membaca dua bukunya (persisnya [b:Message in a bottle|3478|Message in a Bottle|Nicholas Sparks|http://d202m5krfqbpi5.cloudfront.net/books/1357124038s/3478.jpg|1622450] dan [b:The Lucky One|3063499|The Lucky One|Nicholas Sparks|http://d202m5krfqbpi5.cloudfront.net/books/1334083859s/3063499.jpg|3094402], saya merasa...ide awalnya bagus tapi makin ke belakang makin flat ya. Plotnya gampang ketebak. Ada bagian-bagian yang menarik untuk dibaca, tapi sebagian besar...humbala humbala humbala. Terasa seperti gumaman tanpa emosi buat saya. Walaupun Alin, teman saya, kayaknya naksir berat sama karya-karya Sparks (dan sukses bikin saya langsung inget dia tiap liat buku Sparks), itu nggak menular sama saya.

A Walk to Remember ini saya baca karena pengaruh teman-teman sih. Filmnya, yang dibintangi Mandy Moore, kata teman-teman saya 'sedih parah' atau 'ngena banget'. Pas saya tanya kenapa, mereka dengan 'baik hati'-nya menjabarkan cerita dari awal sampai akhir. Iya, lengkap dengan informasi yang seharusnya bisa saya nikmati lebih kalau saya menonton film/membaca buku sendiri. Ah, kebaikan teman-teman saya memang unik kadang-kadang.

Jadi, pas saya baca buku ini, saya udah tahu akhirnya bakal gimana. Garis besar jalan ceritanya juga saya udah tahu. Saya sama sekali nggak mengharapkan kejutan dari buku ini. Saya cuma mengharapkan...well, teman-teman saya diam karena akhirnya toh saya bersentuhan langsung juga dengan kisah ini, hahaha

Ternyata buku ini melampaui jauh ekspektasi saya. Sudut pandang orang pertama lewat mata Landon Carter, tokoh utama pria, membuat kisah ini jadi lebih hidup. Carter di usia tua mengingat kembali masa lalunya pada tahun 1958 di Beaufort, sebuah kota kecil di North Carolina. Saat itu dia adalah seorang cowok umur 17 tahun dari keluarga kaya dan termasuk golongan 'keren'. Dia tahu itu sebagian besar karena keberuntungan daripada kekerenannya sendiri. Seperti banyak remaja, Carter juga berpikir bahwa 'keren' itu semacam sinonim dari 'bandel', walaupun kebandelan di tahun 1958 terdengar sangat cupu jika dibandingkan dengan sekarang (Makan kacang malam-malam di kuburan? Yakali). Carter akan menjalani masa remajanya seperti remaja pada umumnya, apabila rencana Tuhan tidak mendekatkannya dengan Jamie Sullivan, anak pendeta setempat.

Apa yang saya sukai dari kisah ini? Saya suka bahwa kisah cinta antara Carter dan Jamie berlangsung mengalir dan dapat dengan mudah dipercaya. Saya suka bagaimana Sparks menggambarkan masa remaja pada tahun 1950-an di kota kecil, somehow it feels so quaint and comfortable to read. Saya suka penggambaran karakter Hegbert Sullivan, ayah Jamie, dengan Carter. Juga karakter Jamie...oh Jamie, the little angel! Kadang-kadang saya berpikir dia itu borderline Mary-Sue tapi saya nggak bisa mencibir karakter dia, nggak bisa! Seperti karakter lain dalam cerita, saya menunduk melihat senyum malaikat Jamie di dalam otak saya, dan dia boleh melanjutkan kebaikan hatinya yang seakan tanpa noda itu, suka-suka dia.

Tema besar dalam cerita ini buat saya adalah cinta, penerimaan, dan kedekatan dengan Tuhan sebagai kunci kedamaian. Agama saya berbeda dengan Jamie dan Carter sehingga saya tidak bisa terlalu menghayati ayat-ayat Alkitab yang bertebaran di buku ini, tapi saya bisa menangkap garis besarnya dan merujuk pada kitab suci saya sendiri. Menuju ke akhir cerita (yang saya udah tahu benar bagaimana, MAKASIH BANGET LOH TEMAN-TEMAN. IF YOU READ IT, YOU KNOW WHO YOU ARE!), saya juga merasa terlibat dalam kegelisahan Carter. Pada saat dia akhirnya menemukan jalan kedamaian, saya dapat mengerti perasaan itu.

Setiap ujung halaman seperti membisiki saya, "baca se-chapter lagi nggak apa-apa sih." Ada bagian-bagian yang mampu membuat saya menitikkan air mata, walaupun nangis kejer sih nggak, lebay ah. Akan lebih bagus kalau Sparks menceritakan juga bagaimana kehidupan Landon Carter di masa depan. Kan sempat disebut bahwa hubungannya dengan Jamie telah membentuk Carter menjadi 'lelaki yang seperti sekarang'. Nah, memangnya Carter di masa depan itu lelaki seperti apa? Seperti apa kira-kira efek sentuhan Jamie pada hidupnya? Ini adalah hal-hal yang ingin saya tahu setelah membaca kisah menyentuh ini, tapi sayang Sparks nggak banyak membahasnya.

This should be the first book of Sparks I have ever read. Maybe I won't be as skeptical when I read another...
Twilight by Stephenie Meyer

Go to review page

4.0

I can hear someone preparing to hurl stones at me and muttering doubt about my sense in literature. LOL.

I've been a Twihard in my younger years --a huge one, if I might add. The release of the second film effectively stopped my fangirling (Bare-chested werewolves, anyone? Am I the only one who thinks that there's nothing sexy about that at all?) but I still love the story and the universe. Well, not wholly like I did before, but I still love a big part of it.

It's easy to see why the 15 years old me liking Twilight. An ordinary and almost boring girl gets attention from the hottest boy in school--who happens to be a sparkling vampire. So many girl can relate to that fantasy (excluding the sparkling vampire thingy), including me. Nice to visit that younger self of mine and realize how much I've been growing up since then :)

Almost everyone probably has read/peeked at the book and those who haven't probably already knew the rough storyline, so I don't have to rewrite it here. My personal favorite part is when the backstory of the vampires were told. Too bad this book was told from Bella's perspective, she's too boring, childish, and sentimental at times. The vampires are more interesting, even without Bella repeatedly describes how 'perfect' they are.

PLUS, I got it for free from a contest in Twilight Indonesia (that I didn't consciously enter). This book remind me of really personal sweet (and sometimes stupid) experience...so I give four stars for how this book entices me and give me a sweet, sweet reminiscence :)
Princess in the Spotlight by Meg Cabot

Go to review page

3.0

Life can't be more complicated for Mia Thermopolis. As if it's not enough that she is a princess of Genovia and stuck with Grandmere's princess lesson after school, now she has to worry about her mother, who is pregnant with her Algebra teacher's baby. On top of that, she found herself in love with her bestfriend's brother, Michael Moscovitz. And she's sort of hoping that the secret admirer who keeps sending her love e-mail really is Michael...only it's, like, impossible, right? And what's this fuss of royal wedding is about?

Still written in diary format (ha, of course), Princess in Spotlight is really an easy read. You don't have to think about anything, just sit back and relax and keep reading. For a book so light, it's quite surprisingly page-turner. Mia is her usual overly dramatic self, and her early-teen rant is the main charm of this book. My main thought as I'm reading this book is : I'm so jealous of her ability to keep writing in her diary everyday! Hahaha
Princess in Love by Meg Cabot

Go to review page

3.0

How is the life of Mia Thermopolis at the start of book three?
a. Mia is still the princess of Genovia
b. Her mother is newly married to Mia's Algebra teacher, and she's pregnant with his child
c. Mia's cousin, Sebastiano, is visiting her in New York, and Mia is worried that Sebastiano intends to choke her to death with one of the dress he designed for her
d. Mia is still deeply in love with her bestfriend's brother, Michael Moscovitz. Only he seems to like other girl, who is his fellow Computer-Club geek and apparently so intelligent she can clone fruit fly in her free time.
e. Mia finally got a boyfriend. The only down side is that boyfriend is not Michael.

Our overly-dramatic princess is still writing charming diary entries, in an early teenager-ish way. Her entries are getting longer and more detailed, but still hasn't lost her personal taste, although sometimes I admit that it doesn't feel as 'diary' as the previous two books. As more conflicts introduced, it's getting harder to contain them purely in Mia's usual diary-writing style.

I have a few musing while reading this book:
1. The character Lilly is so annoying. I understand that she's genius, critical, and all, but I seriously want to punch her at times. I don't know how Mia put up to be 'bestfriend' with this coercing, tyrannical girl sometimes.
2. Mia's main concern is now expanded. First, her 'lack of mammary gland growth' (her phrase, not mine). Second, her tall stature (or 'gigantism', as she prefer to call it). Now add 'kissing and frenching' to the list. I remember when I read this book for the first time (when I was 11 or so), I wondered what is this 'French Kiss' they talk about. A wondering I want to spare my daughters because I'm not going to permit them reading it until they are 15 or older, and we have to discuss it afterwards.
3. One of Lilly's hobby is psychoanalyzing Mia because her parents are psychoanalyst. I thought most of psychologist in America are more inclined to behavioristic approach. Maybe it's sort of a pun, since The Moscovitzes are Jewish, like Sigmund Freud (who is the father of Psychoanalysis. I wonder if MY children's hobby will be analyzing their friends' personality and mental state too, since at least one of their parents is a psychologist! Hahaha, fun to imagine :)

I once thought that this is the last book of the series, but it turns out that there's seven other books following, haha.