26 reviews for:

Larung

Ayu Utami

3.65 AVERAGE


Endinge horor tenan

Jika dibandingkan dengan “Saman” dari segi alur, ada keunikan tersendiri pada “Larung”. Cara Ayu Utami memperkenalkan tokoh Larung dengan menceritakan kisah hidupnya di paruh pertama buku ini sangat mengesankan. Rasanya seperti sulit menarik benang merah antara “Saman” dengan “Larung” ketika awal-awal membaca buku ini. Namun ternyata, bagian pertama tersebut disiapkan untuk kedatangan tokoh Larung yang kemudian akan berperan penting pada klimaks di buku ini.

Dari segi estetis, tanggal di tiap sekuen dari bukunya adalah cara Ayu Utami membangun konteks buat pembaca. Dapat dikatakan bahwa novel ini selain memiliki keunggulan secara estetis, juga ada sedikit muatan politis di dalamnya. Terutama mengenai kasus-kasus di akhir masa pemerintahan Orde Baru yang usut punya usut tak dapat dilacak penyelesaiannya.

Selain itu mungkin tokoh Larung dalam buku ini dapat dilihat sebagai sub-altern, orang yang bertubuh kecil, tidak menonjol, dan tidak jelas arah geraknya dalam hal ideologi. Namun satu hal yang pasti, ia menentang sistem yang sudah ada dengan caranya sendiri. Ia bagaikan gambaran dari tokoh-tokoh tak bernama yang menghilang oleh paranoianya pemerintah Orde Baru yang gencar membungkam suara aktivis.
challenging dark emotional funny lighthearted sad tense medium-paced
Strong character development: Yes
Loveable characters: Yes
Flaws of characters a main focus: Yes
slow-paced

Boring pooool

So-so, tidak sebagus buku pertama. Novel ini dibuka dengan latar belakang Larung, yang gelap, suram, dan sulit kumengerti. Pertengahan, membahas Laila, Shakuntala, Cok, dengan nilai-nilai feminisnya: kesetaraan gender, laki-laki dan perempuan, seksualitas. Lalu, akhirnya yang dicantumkan dalam blurb: kisah pelarian aktivis—yang tidak sebanyak yang kuharapkan. Lalu, ketika klimaksnya, novel ini malah berakhir. Harus segera membaca Maya, tapi aku sudah dan lama, harus membaca ulang.

Semakin tidak mengerti arah buku ini ke mana. Terlalu.... hmmmm merekah.
Di buku yang pertama saya sudah sedikit kecewa karena gak ngerti masalah utama dan topiknya apa.
Dibilang tentang eksil prareformasi enggak, dibilang roman juga enggak. Gak jelas deh pokoknya.
Di buku yang kedua ini saya merasa nyaman membaca, tapi bukunya makin aneh.
Shakun menjadi androgini dan akhirnya tidur bersama Laila.
Yasmin sayang Saman.
Cok suka Larung.
Larung dan Saman mati di tangan ABRI.
Tetot. Buku apaan nih. Jangan khawatir, saya selamatkan karena detil dan kisah yag menawan. Sudut pandang yang asik, sayang sekali nggak bisa kasih nilai sempurna.

***
Seperti biasa, kutipan asik merubah hidup Anda
"Ketika orang menjadi tua maka ia haya menjadi mata. Dan hanya mata. Tak ada lagi saya. Hanya mereka."
-Simbah Adnjani, hlm. 19-

"Kelak akan kukalahkan tubuhku sebelum uzur mengambil harga diriku. Kelak akan kukalahkan segala rasa sakit sebelum ia mencampakkanku pada sia-sia. Hidup buka menunda kematian melainkan memutuskannya. Akan kuputuskan kematianku bila sampai pada waktunya."
-Larung, hlm. 55-

"Jika sebuah rezim memalsukan sejarah kecil, maka ia memalsukan sejarah secara besar pula. Jika sebuah rezim menyelewengkan sejarah secara besar, tentu parahlah kesalahan yang hendak ia menangkan. Maka, rezim ini menumpas dan mendengki komunisme, niscaya benarlah komunisme itu."
-Ketut Alit/Nyoman Togog, hlm. 237-

"Ia biasa bilang: aku tidak suka merenung ketika mengunyah, tapi suka mengunyah ketika merenung. Ia bukan orang yang rakus pemikiran, dan tak pernah berlagak filsafati. Baginya keadilan adalah perkara nurani dan kerja. Ia percaya rasa keadilan sesungguhnya nyata pada hati setiap orang sebagaimana pada hatinya dan kita tak membutuhkan buku untuk itu. Persoalannya sederhana: ada makhluk-makhluk yang tamak dan gila kekuasaan."
-Bilung, hlm. 256-

Sekiaaaaaaan, bagus tapi tidak bisa buat rekomendasi ke teman-teman.
N.b. Makasih Sari untuk pinjaman novelnya.
adventurous challenging dark informative mysterious reflective sad tense medium-paced
Plot or Character Driven: A mix
Strong character development: Complicated
Loveable characters: Yes
Diverse cast of characters: Yes
Flaws of characters a main focus: Yes

keren, Ayu Utami selalu bersikap frontal, namun dengan bahasa yang tetap memukau
challenging dark funny reflective sad tense medium-paced
Plot or Character Driven: A mix
Strong character development: Complicated
Loveable characters: Complicated
Diverse cast of characters: Yes
Flaws of characters a main focus: Complicated


Selesai membaca Saman, segera membaca lanjutannya yaitu Larung.

Masih berkisar di kehidupan 4 sahabat dan Saman yang merupakan sentral dari buku pertama, hanya saja kali ini terdapat penambahan tokoh baru yang tidak lain adalah Larung sendiri.

Bagian awal buku dimulai dengan kisah Larung dan petualangannya dalam mengakhiri hidup Neneknya (iya betul sekali). Masih dipenuhi dengan suasana mistis dan spiritual seperti kisah Saman, kisah Larung muda ini cukup menarik meskipun bagi saya cukup bertele-tele di beberapa bagian sehingga harus berhenti membaca dulu.

Panjang lebarnya pengenalan karakter Larung melalui kisah dia dan neneknya ternyata tidak terlalu berpengaruh terhadap kisah selanjutnya.

Kita dibawa kembali ke kisah 4 sahabat, Laila, Cok, Shakuntala, dan Yasmin, yang berkumpul di New York untuk menyaksikan pertunjukan Shakuntala. Walaupun tentu saja, terdapat tujuan lain di antara mereka, yang sudah kita ketahui dari kisah di buku Saman. Kisah ke 4 sahabat ini sangat menarik, karena Ayu Utamin lebih berani lagi mengekspresikan ide feminisme yang diusungnya melalui percakapan dan pergolakan batin keempat perempuan muda ini. Bahasa yang digunakan termasuk lebih vulgar dan kiasan yang digunakan membuat saya cukup sering berhenti untuk memahami maksudnya.

Akhir kisah di buku Larung ditutup oleh misi penyelundupan 3 orang aktivis muda yang harus dilakukan oleh Saman dan Larung. Baru disinilah tokoh Larung dimunculkan kembali. Menurut saya ini bagian paling seru karena cukup menegangkan dan tidak lupa dipenuhi dengan percakapan pintar, terutama dilontarkan oleh Larung. Sayangnya endingnya sangat sangat sangaaat...... silahkan dibaca sendiri.

Secara keseluruhan buku Larung ini masih sama memuaskannya dengan buku Saman. Kritik dan isu yang dibawa di Saman juga masih diangkat di buku Larung ini. Di buku ini kiasan kata yang digunakan cukup berat dan penuh dengan ide-ide yang lebih berani dibandingkan Saman. Meskipun bagi saya, cukup banyak narasi yang bertele-tele yang membuat saya sempat berhenti sejenak karena bosan.

3.5/5⭐️