devipurwanti's reviews
16 reviews

Kebun Jagal by Putra Hidayatullah

Go to review page

dark emotional reflective tense medium-paced

4.5

Saat pertama kali melihat buku ini di etalase lapak buku, aku langsung tertarik dengan judulnya. “Kebun” identik dengan sesuatu yang ditanam, dirawat, dan memberi manfaat, sedangkan “jagal” justru berkonotasi kelam. Kombinasi dua kata yang bertolak belakang ini membuatku semakin penasaran buat mengulik isinya. Beberapa cerita dalam buku ini memang berangkat dari premis yang unik, bahkan absurd, tetapi pada akhirnya mengarah pada kritik sosial.

“Kebun Jagal” adalah kumpulan cerita pendek yang mengangkat berbagai isu kemanusiaan, dari peristiwa 1965–66, konflik agraria, brutalitas aparat, diskriminasi terhadap kelompok minoritas atau rentan, kesehatan mental, hingga eksploitasi praktik klenik. Meskipun aku perlu menangkap ulang bagaimana penulis membingkai karakter-karakter perempuan, tetapi ceritanya bisa menawarkan kesadaran baru bagi pembaca.

Expand filter menu Content Warnings
Politik film di hindia Belanda by M. Sarief Arief

Go to review page

informative reflective fast-paced

3.5

“Politik Film di Hindia Belanda” adalah skripsi yang dibukukan oleh M. Sarief Arief. Buku ini secara umum membahas perkembangan perfilman pada masa penjajahan Belanda di Hindia Belanda dan bagaimana peraturan terkait film berdampak pada perkembangan industri film itu sendiri.

Melalui buku ini, aku memahami asal mula sistem penyensoran yang masih ada hingga kini, serta siapa aja yang berhak menonton film berdasarkan kelas sosialnya. Awalnya, hanya bangsawan Eropa yang bisa dengan mudah mengakses film, sedangkan penyensoran film digunakan sebagai alat pemerintah kolonial untuk menundukkan penduduk lokal, yang semakin menguat sebagai alat propaganda saat penjajahan Jepang berikutnya.

Lebih lanjut, pemahaman tentang bagaimana film dengan aliran neo realisme sering kali sepi peminat, dan bahwa film sering dianggap sebagai bentuk eskapisme semata, mengingatkanku pada kritik para pemikir kritis yang menilai film adalah salah satu cara kapitalisme memperdaya kita.

Meskipun dari segi teknis, aku masih menemukan beberapa kesalahan penulisan dan kejanggalan spasi yang sedikit mengganggu kenyamanan membaca. Namun, buku ini patut dibaca, terutama bagi penikmat film, pekerja di industri film, atau siapa aja yang tertarik pada sejarah dan budaya.

Expand filter menu Content Warnings
The Sea Cloak and other stories by Nayrouz Qarmout

Go to review page

emotional inspiring lighthearted reflective sad tense fast-paced

4.0

“The Sea Cloak” nggak hanya mengangkat tema besar tentang resistensi masyarakat Palestina terhadap penjajahan Israel, tetapi juga menyoroti patriarki yang dibenarkan dengan dalih agama. Dalam beberapa cerita, pejuang perempuan di sini sering kali ditundukkan dengan ekspektasi untuk menjadi perempuan yang pasif, nggak perlu pendidikan tinggi, nggak perlu menyalurkan resistensi lewat kesenian, dan rentan terhadap poligami yang nggak mendesak.

Sebagai pembaca, aku merasa geram, tetapi yang menguatkan adalah karakter-karakter perempuan yang punya daya melawan yang cukup tinggi terhadap segala bentuk kekuasaan itu. Misalnya, mereka berusaha untuk nggak meneruskan trauma generasional kepada anak-anak perempuan mereka, atau mencari kekuatan dalam solidaritas sesama perempuan dan/atau kelompok marginal lainnya.

Buku ini cukup deskriptif, dan terima kasih kepada penerjemahnya, karena kata-kata yang digunakan mudah dipahami. Meski ada beberapa bagian yang butuh dibaca lebih dari sekali agar bisa lebih dalam memahaminya. Secara keseluruhan, buku ini cukup berpengaruh untuk memberikan gambaran yang cukup jelas tentang keadaan Palestina dari lintas perspektif dan waktu.

Expand filter menu Content Warnings
Detail Kecil by Adania Shibli

Go to review page

adventurous dark emotional sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix

4.0

Berangkat dari keinginan untuk memahami Palestina lebih dalam, terutama dari penulis lokalnya, dan seringnya buku ini diulas di lini masaku. Akhirnya aku memutuskan untuk membawa pulang “Detail Kecil” dari toko buku.

Buku ini membagi dua sudut pandang kontras. Pertama, sudut pandang ketiga yang menyoroti seorang tentara Israel di tahun 1949, dari kehidupan di kamp militer sampai keterlibatannya dalam sebuah tragedi. Kedua, sudut pandang pertama dari perempuan Palestina yang menangkap detail-detail kecil yang sering diabaikan, lalu memutuskan untuk mengungkap tragedi bertahun-tahun silam.

Sambil menerka-nerka makna dari judul “Detail Kecil” yang ternyata mengungkap refleksi yang jauh lebih pilu daripada tragedi itu sendiri, aku belajar juga tentang meriset peristiwa sensitif, terutama bagaimana karakter dalam buku ini menggali pandangan dari narasumber yang punya sudut pandang berseberangan.

Penggambaran situasi dalam buku ini sangat detail, sesuai judulnya. Dari hal sederhana seperti rutinitas mandi—aku bahkan bisa mengendus aroma tentara di gurun—sampai deskripsi diorama di museum Israel. Meskipun terkadang membosankan, tetapi ini mendukung imajinasiku yang terbatas untuk hadir di situasi yang penulis bangun. Buku ini mendesakku untuk mengumpat “anjing” sebelum akhirnya ditutup dengan kehampaan.

Expand filter menu Content Warnings
Perempuan di Titik Nol by Moh. Amir Sutaarga, Nawal El Saadawi

Go to review page

dark emotional reflective fast-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated

4.5


Expand filter menu Content Warnings
Lebih Putih Dariku by Dido Michielsen

Go to review page

challenging emotional reflective medium-paced
  • Strong character development? Yes

5.0

Semula ku pikir “Lebih Putih Dariku” bercerita tentang penerimaan diri bagi perempuan kulit berwarna di tengah standar kecantikan yang sering kali nggak masuk akal, terutama di wilayah tropis. Namun, buku ini ternyata menawarkan lebih dari itu: kisah tentang Isah, perempuan Jawa yang lahir sebagai bangsawan rendahan dan menjalani hidupnya sebagai nyai.

Peran nyai penuh dengan dilema, dari sebagai pengatur rumah tangga hingga pendamping orang-orang Belanda totok, termasuk dalam hubungan seksual tanpa ikatan pernikahan. Namun, yang lebih penting untuk disoroti adalah bahwa ini nggak membuat mereka berhak atas diri mereka sendiri dan keturunannya.

Kisah hidup Isah bukan hanya tentang perjalanan hidupnya sebagai nyai, tetapi juga pergulatan batinnya sebagai seorang anak di keraton, seorang ibu yang kehilangan anak-anaknya, dan seorang perempuan yang terus belajar tentang kekuatan di tengah sistem yang membatasinya.

Meskipun begitu dan terkadang hanya berani di dalam pikiran, Isah jarang kehilangan keberanian untuk berpikir kritis dan meneguhkan martabatnya. Canting, sahabat Isah, membantu merekam kisah hidupnya sebagai bentuk merawat ingatan, bukan hanya untuk keturunannya, tetapi juga untuk perempuan lain yang mengalami nasib serupa.

Sebenarnya aku juga lebih senang memanggil nama kecilnya, Piranti, daripada Isah. Ku pikir nama itu lebih merdeka dan bermakna. Jika karakternya mungkin dihidupkan, aku hanya ingin bilang: Piranti, pilihan-pilihanmu adalah wujud keberanianmu. Dalam dunia yang begitu membatasi perempuan, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kisahmu adalah pengingat bahwa perjuangan perempuan selalu layak didengar dan dihargai.

Expand filter menu Content Warnings