Reviews

Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam by Dian Purnomo

ipho_o2's review

Go to review page

adventurous challenging dark emotional hopeful informative inspiring reflective relaxing sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.5

Dian Purnomo, melalui Magi Diela, menyurat kepada dunia, menuntut keadilan kepada kaum perempuan.

Saya selalu senang membaca novel yang bertemakan budaya. Sebab, penulisannya senantiasa gamblang, eksplisit, dan jujur. Juga, sarat akan riset mendalam mengenai kultur dan adat setempat. Hal ini pula lah yang saya temui dalam buku ini.

Ada hal menarik dalam cara penulis memberikan hook di setiap bab-bab pendek, lewat kisah Magi Diela yang mencoba mencurangi kematian dan melawan adat, dari pada harus menjadi istri dari lelaki mata keranjang. 

Meskipun terkesan ada yang mengganjal, tapi secara umum, buku ini meninggalkan rasa pahit dan manis saat dibaca. Mengajarkan saya untuk mewariskan adat sewajarnya saja, dan tidak berusaha untuk mengurangi hak dan kewajiban manusia manapun dalam hidupnya. Saya ikut merasa deg-degan dengan Magi Diela, sang perempuan gila, lewat aksinya yang berhasil membuatnya lepas dari lubang jarum penyiksaan hingga dua kali.

Terakhir, saya berpesan, saya senantiasa berdoa dan berharap, kita semua dapat hidup dengan layak sebagaimana manusia. Semoga para perempuan di luar sana, senantiasa diberikan kekuatan dan ketegaran, menghadapi dunia yang senantiasa mencurangi.

xyifa's review

Go to review page

5.0

This book is soo eye opening. I will pray to God day and night this tradition will fade away. Poor Magi and many other women that have to experience this violence sugarcoated in the name of tradition.

novemberninth's review

Go to review page

4.0

This book took me on a roller coaster of emotions. I went from depressed, scared, hopeful, hopeless, back to feeling depressed... I like how the chapters are very short so it really felt as if I was breezing through the book (and I was, I read it in 2 days). The language is simple, though the use of local vocabularies took a while to get used to. My only problem is the very fast pacing, but overall it's a wonderful book and I really hope it gets a translation someday! The voices of these women need to be heard.

clarissantsa's review

Go to review page

5.0

Let's see from the cover first. It's so pretty! Warna merah jambu yang tidak terlalu mencolok benar-benar memikat saya dari awal. Namun, kisahnya kelam, tidak secerah sampulnya.

Emosi saya benar-benar diacak selama membaca buku ini. Yang paling sering muncul adalah perasaan marah, kesal, dan sedih. Marah dan kesal karena tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang. Sedih karena mengapa nasib Magi Diela senaas ini. Seakan-akan Tuhan tidak mendengar doa Magi Diela.

Saya merasa buku ini agak membingungkan untuk dibuat ulasannya. Saya menyukai buku ini, namun ada bagian-bagian yang agak membuat saya bosan di tengah jalan. Meskipun begitu, saya masih penasaran dan menamatkan buku ini. Dan saya bersyukur saya menamatkannya. Saya masih memberi 5 bintang untuk buku ini; rasanya salah memberi lebih rendah daripada itu.

Perlu kita ketahui, prosesi kawin tangkap ini masih terjadi hingga sekarang di Sumba, dan belahan dunia lainnya. Saya pernah menonton dokumenter pendek tentang kawin tangkap yang serupa di Kyrgyzstan, dan saya benar-benar marah saat menontonnya. Benar seperti apa yang dikatakan di dalam buku ini, kita memang harus menghargai adat, namun kita tidak bisa diam saja melihat adat yang merugikan manusia; dalam hal ini, merugikan perempuan.

Sekian ulasan pertama saya.

everyonesun's review

Go to review page

5.0

Kalau Mbak Dian Purnomo nulisnya dengan berderai air mata, aku bacanya dengan lebih banyak air mata jatuh.
Semua perasaan marah, kesal, sedih, muak, jijik sampai tidak habis pikir campur jadi satu.
Bukunya menambah pengetahuan baru tentang Sumba, tentang adat kawin tangkapnya, diculik - ditangkap - dijinakkan seperti hewan - untuk nantinya dikawini, dan Magi Diela sangat sangat sangat hebat dan kuat dalam mendapatkan kebebasannya kembali setelah mengalami itu semua, dari mencurangi kematian hingga bersandiwara untuk rencananya besarnya.
Kalau orang bilang mencurangi kematian itu tindakan yang pengecut bagi aku tidak terlalu tepat. Magi memilih jalan itu bukan karena dia ingin mati, tapi karena dia tidak ingin hidup tidak merdeka dipenjara seumur hidupnya.

「dua kali sa lolos dari maut. tapi leluhur terus kasih sa pung air mata jatuh. sampai kapan sa dan perempuan lain di sa pung tanah ini akan terus menangis?」


Yang membuat aku tidak habis pikir bahwa kawin tangkap ini terjadi karena adanya penolakan lamaran dari perempuan. Seakan suara perempuan tidak didengar disini, dan seakan perempuan hanya sebatas objek yang bisa dipindahkantangankan dengan gampangnya. Dilakukan kawin tangkap pun atas kesepakatan kedua belah pihak yang mana keluarga sendiri pun tidak melindungi suara perempuan dengan mengatasnamakan menuruti adat.
Yang harusnya mereka dapat memilih mana adat yang bisa dilestarikan dan mana adat yang harusnya dihilangkan.

Jadi perjuangan perempuan memang tidak pernah berakhir karna aku yakin banyak di luar sana Magi lain yang masih mengalami hal serupa, perempuan yang dibungkam, diperlakukan tidak adil dan tidak dapat merdeka atas dirinya sendiri. Sedih sekali kalau dibayangkan, let's women support women!!!!

ulyazmh's review

Go to review page

4.0

Membaca buku ini membuat saya belajar tentang budaya Sumba khususnya budaya kawin tangkap. Selama membaca, saya dibikin meringis dan ikut marah membayangkan hal-hal yang diterima Magi Diela. Memang orang gila harus dihadapi dengan gila.

Buku ini isinya luar biasa akan tetapi saya kurang cocok dengan gaya penulisannya.

itzreibrary's review

Go to review page

5.0

Aku harus membaca buku ini sambil menawar-nawarkan hati, karena kalau tidak buku ini sudah habis kubanting-banting karena emosi. Sungguh tragis bahwa peristiwa semacam ini terjadi di masa kini, membuktikan bahwa kemajuan zaman, logika dan rasa kemanusiaan, bahkan kasih sayang terhadap anak sendiri, tidak mampu menggoyahkan adat sekalipun adat tersebut sudah melenceng. ⁣

Kendati usaha Magi yang ke dua berhasil, namun ia telah menempa pengalaman pahit yang telah membekas dalam. Semestinya tidak ada seorang Magi pun yang patut untuk berjuang semacam ini, berkorban demi kehidupan yang lebih layak di kampung adatnya. Kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan tidak semestinya menjadi tradisi dan kebiasaan.⁣

haifarania's review

Go to review page

4.0

Sebagai seorang perempuan, membaca buku ini membuatku serasa kena tampar. Di tengah dunia yang sudah berseru-seru tentang kesetaraan dan keadilan gender, ternyata masih banyak perempuan lain yang kebebasannya terenggut.

Lebih mirisnya, sering kali, tradisilah yang menimpakan nasib buruk bagi perempuan-perempuan tersebut; dipaksa menjadi properti laki-laki, dibungkam suaranya, dan (meminjam salah satu perkataan Magi) dihargai seperti barang yang bisa ditukar hanya karena mereka punya rahim.

Tradisi kawin tangkap yang digambarkan di buku ini membuka mataku. Bahwa tidak sedikit kebudayaan di Indonesia yang merugikan perempuan, namun ironisnya masih juga diterapkan dengan dalih melindungi warisan nenek moyang.

Melihat perjuangan Magi memperoleh keadilan dengan melawan adat, masyarakat, dan keluarganya, berhasil membuatku ikut teraduk emosi.

Terlepas dari itu, ada pula kisah Dangu Toda yang membuatku ikut terbawa perasaan. Persahabatan Dangu Toda dan Magi Diela adalah gambaran dari "hubungan cinta" yang menurutku, saking tulusnya, sama sekali tidak mengharapkan balasan atau keinginan untuk saling memiliki. Murni karena mereka hanya tidak ingin melihat satu sama lain tersakiti lagi.

Dalam genangan air matanya, dia mengutuk adat. Hanya karena terlahir dari kabisu yang sama, dia tidak akan pernah bisa menyelamatkan Magi dari kejamnya paksaan per kawinan ini. Sampai mati pun dia berusaha, dia tidak akan berhasil menjadi laki-laki yang dapat melindungi Magi Diela seutuhnya. – Halaman 264

Beralih ke halaman terakhir buku ini, aku kembali disadarkan.

Magi Diela bukanlah satu-satunya perempuan yang mengalami semua kepedihan ini. Ada banyak Magi lainnya, yangmenantikan di balik tangisan tanpa akhir mereka, yang terus bertanya-tanya, kapankah keadilan bisa mereka dapatkan? Sementara lingkaran setan ini terus-menerus berputar?

Tangisnya kepada bulan hitam adalah tangis perempuan yang tubuhnya masih menjadi properti laki-laki. Kisah perempuan lain masih mungkin akan diukir dengan tinta darah, selama pendewaan terhadap adat mengalahkan logika dan kemanusiaan. – Halaman 312

ulvifh's review

Go to review page

5.0

Another book which tells how woman have to struggle more for their basic human rights. Yang berkesan dari buku ini bagaimana budaya adat, pendidikan, keluarga, hak sebagai manusia saling berseteru. Pergolekan hati sang tokoh yang cukup kompleks. Novel ini membuka kembali mata, bagaimana kita perlu memiloh dan memiloh budaya adat yg harus dibudayakan dan yang harus ditinggalkan. Tapi permasalahan ini tak semudah seperti yang digembor-gemborkan.

zarreads's review

Go to review page

dark emotional sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.0