clavishorti's reviews
90 reviews

Perjamuan Khong Guan by Joko Pinurbo

Go to review page

challenging emotional funny lighthearted mysterious reflective sad fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

Buku Perjamuan Khong Guan merupakan karya kedua yang saya telusuri dari pena Joko Pinurbo. Sebagaimana buku Celana yang telah saya nikmati sebelumnya, buku ini juga mempersembahkan kumpulan puisi-puisi dari Joko Pinurbo. Dalam setiap bait puisinya, terdapat sentuhan yang mencerminkan keberagaman aspek kehidupan, dari yang berkaitan dengan agama hingga budaya, yang disajikan dengan penuh keahlian dan kedalaman pikiran sang penyair.

Keunikan buku ini terpatri dalam pembagian puisi-puisinya ke dalam empat bagian yang disebut ‘kaleng’, sebuah istilah yang membawa kita dalam perenungan mendalam akan makna yang terkandung di baliknya. Seolah menyuguhkan perjamuan bagi jiwa yang haus akan keindahan kata-kata, kaleng-kaleng tersebut menghidangkan puisi-puisi dengan ragam rasa dan aroma yang menggoda. Dalam setiap kaleng, kita diundang untuk menjelajahi ranah yang berbeda, tetapi tetap terkait dalam kesatuan yang harmonis, sebagaimana sebuah perjamuan yang menyatukan beragam cita rasa dalam satu meja.

Tidak dapat disangkal bahwa judul buku ini, Perjamuan Khong Guan, mengundang perenungan akan hubungan erat antara puisi dengan produk ikonik biskuit Khong Guan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Khong Guan adalah sebuah perusahaan yang menjelma menjadi raksasa dalam skala internasional, mengukir namanya dalam industri makanan, khususnya produk biskuit dan wafer. Tentu saja, yang paling legendaris adalah kehadiran biskuit Khong Guan dalam kemasan kaleng.

Kemasan kaleng ini tidak hanya menjadi wadah untuk menyimpan produk, tetapi juga menjadi wadah untuk mengumpulkan sejuta kenangan dan cerita di setiap sudutnya. Di sisi kaleng, terpampang dengan anggun potret keluarga yang sedang bersama di meja makan: seorang ibu dan dua anaknya. Gambar ini sungguh menarik perhatian, karena begitu mirip dengan sampul depan dari buku Perjamuan Khong Guan ini. Seolah menjadi jendela ke dalam isi buku, potret ini membawa kita pada perjalanan yang menggugah hati dan menghidupkan kembali kenangan-kenangan yang terpendam dalam setiap kaleng biskuit Khong Guan.

Puisi-puisi dalam buku Perjamuan Khong Guan memang menawarkan sejumlah kekhasan yang memikat hati pembaca. Khususnya, bagi saya, bagian “Kaleng Tiga” menjadi daya tarik tersendiri karena seluruhnya mengisahkan perjalanan hidup seorang tokoh bernama Minnah. Dari awal kehadiran Minnah di dunia, dengan segala haru bahagia dalam “Lahirnya Minnah”, hingga berbagai liku-liku yang dihadapinya dalam “Demam Minnah”, setiap bait puisi membawa kita pada sebuah perjalanan emosional yang mendalam.

Namun, dalam membandingkan puisi-puisi dalam buku Perjamuan Khong Guan dengan karya sebelumnya seperti buku Celana, saya melihat sebuah perbedaan yang cukup mencolok. Puisi-puisi dalam Perjamuan Khong Guan cenderung lebih singkat dan padat, mempersembahkan makna dalam ruang yang lebih terbatas. Hal ini menjadi pertimbangan bagi saya, yang lebih menggemari puisi yang mengalir dalam panjang dan mendalam.

Namun demikian, saya sadar bahwa kecenderungan dalam menikmati puisi adalah hal yang sangat subjektif. Setiap pembaca memiliki selera dan keunikan masing-masing. Bagi beberapa orang, puisi yang singkat dan langsung pada intinya mungkin lebih memikat, sementara bagi yang lain, keindahan puisi terletak pada kemampuannya untuk mengalir dalam aliran yang panjang dan mendalam. Keberagaman dalam kesenian adalah sebuah keniscayaan, dan perbedaan pandangan hanya menambah kekayaan dalam dunia sastra yang penuh warna.

Tidak tersembunyi bahwa kesenangan melanda diri saya saat menjelajahi halaman-halaman buku Perjamuan Khong Guan yang tercipta dari pena Joko Pinurbo. Saya terpesona oleh kemampuan sang penyair dalam memilih kata-kata yang luar biasa kreatif, menghiasai setiap baris dengan keindahan yang memikat hati dan menyentuh jiwa.

Hal yang mengagumkan lainnya adalah variasi nada dalam puisi-puisi ini. Dari bait yang menghanyutkan dalam suasana serius, hingga sindiran yang menggoda senyum, bahkan hingga humor yang membuat hati riang. Sungguh, keberagaman ini menciptakan sebuah pertunjukan sastra yang memikat, mengajak pembaca untuk merasakan segala nuansa emosi yang terpancar dari setiap rangkaian kata. Bagi siapa pun yang ingin menggali keindahan dan kedalaman puisi karya Joko Pinurbo, buku Perjamuan Khong Guan adalah pilihan yang tepat.
The War that Saved My Life by Kimberly Brubaker Bradley

Go to review page

adventurous challenging dark emotional mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? No

5.0

Di jantung kota London yang sesak pada tahun 1939, terdapat seorang gadis kecil bernama Ada Maria Smith. Terperangkap dalam ruang sempit dan gelap, Ada hanya bisa merindukan dunia luar melalui jendela yang terbuka lebar, sementara adik lelakinya, Jamie, dengan bebasnya menari-nari di bawah sinar matahari dan menghirup udara segar yang terasa begitu jauh dari jangkauannya. Semua ini karena ibunya enggan memiliki anak seperti Ada, hanya karena kaki pekuknya. Perbedaan itu merenggut paksa kebebasannya.

Namun, kehidupannya terguncang oleh getaran perang saat pesawat Jerman mulai menjatuhkan bom yang mengancam keamanan mereka. Di tengah kekacauan perang yang melanda, Ada harus menemukan keberanian untuk melangkah ke dunia yang tidak pasti di luar sana. Tapi, sebelum dia bisa menghadapi ketidakpastian itu, ada satu rintangan mendasar yang harus dia taklukkan: belajar berjalan. Bisakah dia menggunakan kakinya untuk berjalan?

The War that Saved My Life karya Kimberly Brubaker Bradley membawa pembaca untuk menjelajahi perjalanan hidup seorang gadis kecil yang berani bernama Ada Maria Smith, di tengah-tengah gemuruh tahun 1939 saat awal Perang Dunia II. Dengan latar belakang genre sejarah fiksi, buku ini tidak sekadar cerita perang, tetapi menggali lebih jauh ke dalam perjuangan dan trauma yang dialami tokoh utamanya.

Ada, gadis kecil yang dilahirkan dengan keunikan fisik yang mencolok—kaki pekuk, terperangkap dalam dunia gelap dan penuh penyiksaan yang diciptakan oleh ibunya sendiri. Dipermalukan dan dihukum tanpa ampun, Ada tumbuh dalam lingkungan yang memupuskan segala harapan dan kepercayaan dirinya. Kehidupannya yang terbatas bahkan menghalangi kemampuannya untuk belajar berjalan, memaksa dirinya merangkak dan hanya bisa mengintip dunia luar melalui jendela.

Di tengah kekacauan perang yang semakin meluas, ketika pesawat Jerman mengguncang langit London dengan ancaman bom, takdir Ada semakin tidak pasti. Akankah ibunya memasukkan nama Ada dalam evakuasi bersama adiknya, Jamie, ataukah membiarkannya terperangkap dalam bahaya di rumah yang selama ini menjadi penjara batinnya?

Namun, sinar harapan mulai muncul ketika keinginan akan kebebasan tumbuh dalam diri Ada. Dengan keyakinan bahwa mungkin ibunya akan berubah ketika dia bisa berjalan, dia memulai perjalanan menuju keberanian dengan belajar berjalan.

Saya sangat terkesan dengan pengalaman membaca buku The War that Saved My Life. Setiap baris narasi mampu menangkap perhatian saya dengan kuat, membawa saya ke dalam aliran peristiwa yang menyentuh dan mendalam. Yang paling menarik adalah bagaimana perjalanan hidup Ada dan Jamie dimulai, dan pertemuan mereka dengan Susan memberikan sentuhan emosional yang luar biasa.

Kesedihan yang menyayat hati mewarnai kisah mereka, terutama saat mereka berhadapan dengan dunia luar yang begitu asing bagi mereka. Meskipun dihadapkan dengan kebaikan, ketakutan yang tumbuh akibat perlakuan buruk ibu mereka membuat mereka ragu menerima bantuan. Bagi Ada, perjuangan melawan trauma dan rasa terkekang menjadi medan pertempuran internal yang memilukan, dan saya merasakan betapa dalamnya perjuangan batin yang dia alami.

Meskipun ada saat-saat di mana saya merasa kesal dengan sikap Ada terhadap Susan, saya menyadari bahwa responsnya itu tidak terlepas dari luka batin dan trauma yang mendalam yang telah dialaminya. Namun, dalam hal ini, saya sangat menghargai keteguhan hati Susan yang tak pernah luntur, bahkan dihadapkan pada sikap dingin dan ketidakpercayaan dari Ada. Keberaniannya untuk tetap mendekati dan memberikan bantuan kepada mereka menunjukkan ketulusan dan kebaikan hati yang luar biasa.

Tidak hanya itu, saya juga ingin menyoroti kehebatan dalam penerjemahan karya ini ke dalam bahasa Indonesia oleh Maicel Andrea. Pemilihan kata-katanya sangat tepat dan mengena, sehingga mampu menyampaikan esensi dan nuansa cerita aslinya dengan baik. Kemampuan untuk mempertahankan keindahan dan kedalaman cerita asli merupakan pencapaian yang patut diacungi jempol.

Secara keseluruhan, pengalaman membaca buku ini sungguhlah luar biasa. Setiap halaman mampu menghadirkan perasaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bagi siapa pun yang mencari pengalaman membaca yang mendalam dan memikat secara emosional, The War that Saved My Life karya Kimberly Brubaker Bradley adalah pilihan yang patut untuk dipertimbangkan. Dengan alur cerita yang menarik dan karakter yang kuat, buku ini memberikan pelajaran tentang keberanian, kekuatan keluarga, dan arti sejati dari kebebasan.

Expand filter menu Content Warnings
Fantasteen: Lucid Dream by Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie

Go to review page

adventurous challenging dark funny mysterious reflective sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? It's complicated
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

Nadine merasa seperti terjebak dalam skenario film horor hidup ketika serangkaian kejadian misterius mulai mengelilinginya pasca kejadian tragis itu. Alih-alih menjadi teman seperjuangan, reaksi teman-temannya justru mengejutkan: mereka menjauh dan meninggalkannya dengan stigma sebagai si sinting Nadine. Paradoksnya, kehidupan sosialnya yang nyata jauh lebih menakutkan dibandingkan dengan makhluk gaib yang kini mulai menampakkan diri di kehidupan Nadine.

Namun, takdir berputar ketika keluarganya memutuskan untuk pindah, membawa Nadine ke sebuah kota baru dengan kejutan yang lebih besar. Di sana, dia bertemu Chris—orang yang tak hanya memiliki keunikan serupa dengannya, tapi juga kemampuan supernatural yang lebih dahsyat.

Didorong oleh rasa penasaran dan tekad yang kuat, Nadine dan Chris memulai perjalanan penuh tantangan untuk mengungkap rahasia di balik keanehan yang mereka miliki. Namun, apa yang mereka temukan justru membawa mereka ke dunia yang lebih gelap dan berbahaya. Di tengah pencarian mereka, makhluk halus berbahaya menunggu di setiap sudut, dan tentunya dengan niat yang tidak ramah. Akankah mereka berhasil memecahkan misteri ini, ataukah mereka akan terjebak dalam kegelapan selamanya?

Fantasteen: Lucid Dream karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie adalah sebuah karya yang menakjubkan, berhasil menarik perhatian saya sejak halaman pertama. Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie berhasil menciptakan sebuah alur cerita yang memikat dengan gaya bahasa yang unik, segar, dan sangat mudah dipahami. Kata-kata yang digunakan terasa begitu hidup, mengalir dengan alami dan menarik pembaca untuk tenggelam lebih dalam ke dalam cerita.

Buku ini berhasil menciptakan atmosfer yang begitu mendalam, sehingga saya merasa sulit untuk meletakkan buku ini bahkan hanya untuk sejenak. Setiap bab, setiap adegan, dan setiap dialog di dalamnya memiliki daya tarik tersendiri, membuat saya ingin terus meneruskan perjalanan membaca hingga menemukan akhir cerita yang memuaskan. Rasanya seperti berada dalam sebuah mimpi yang begitu nyata, di mana waktu berlalu begitu cepat dan Anda tidak ingin bangun.

Selain itu, buku ini juga sangat cocok bagi mereka yang mencari bacaan yang dapat dinikmati dalam sekali duduk. Alurnya yang cepat dan penuh dengan twist membuat pembaca tidak dapat berhenti mengikuti setiap petualangan yang dihadapi oleh tokoh utamanya. Setiap halaman penuh dengan kejutan, misteri, dan pertarungan antara realitas dan imajinasi.

Buku ini menawarkan nuansa yang berbeda dari karya-karya lokal kebanyakan. Dalam Fantasteen: Lucid Dream, Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie berhasil menciptakan sebuah atmosfer yang begitu internasional, meskipun buku ini adalah karya orisinal Indonesia. Setiap elemen, mulai dari tokoh, latar, hingga plot cerita, dirancang dengan sangat mendetail dan otentik, menampilkan kualitas yang sering kali kita temukan dalam buku-buku terjemahan. Namun, yang menarik adalah fakta bahwa buku ini bukanlah hasil terjemahan, melainkan benar-benar karya asli dari seorang penulis Indonesia yang berbakat.

Keunikan ini, menurut saya, adalah salah satu daya tarik utama dari buku ini. Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie tampaknya memiliki keahlian khusus dalam menciptakan narasi yang bisa menembus batas-batas kultural, sehingga dapat dinikmati oleh pembaca dari berbagai latar belakang. Hal ini saya temukan juga dalam karya lainnya, seperti My Name is Luca: Gadis Kecil yang Dicintai Kegelapan, yang menampilkan nuansa yang mirip dengan buku-buku terjemahan, namun tetap mempertahankan esensi khas dari karya-karya lokal.

Dengan label Fantasteen, yang merupakan kumpulan novel bertema fantasi dan horor yang spesifik ditujukan untuk remaja berusia 13 hingga 18 tahun, buku ini memang ditargetkan untuk menghentak jiwa para pembaca muda. Namun, menurut saya, daya tarik buku ini tidak hanya terbatas pada kalangan remaja saja; buku ini mampu memikat hati pembaca dari berbagai usia.

Gaya bahasa yang digunakan dalam buku ini begitu segar, dinamis, dan penuh energi, menghidupkan setiap halaman dengan cerita yang memukau. Pembaca akan terbawa dalam aliran cerita yang cepat, tanpa jeda yang membosankan. Plot cerita yang menegangkan dan penuh aksi berhasil diselipkan dengan sempurna dengan elemen-elemen fantasi dan horor yang memikat, menciptakan sebuah kombinasi yang memikat dan memastikan bahwa pembaca akan terus berada di tepi kursi mereka.

Saat saya memulai petualangan membaca Fantasteen: Lucid Dream, saya sama sekali tidak memiliki ekspektasi apa yang akan saya temui. Namun, begitu saya mulai menyelami alur cerita, saya disambut oleh sebuah dunia yang begitu unik dan mengejutkan. Kreativitas dan imajinasi penulis benar-benar membuat saya terperangah. Setiap halaman penuh dengan kejutan, dan bahkan hingga ke titik terakhir, buku ini berhasil mempertahankan momentum ketegangan dan kejutan, memastikan pembaca terus terlibat dan terhibur.

Sebagai seorang pembaca, saya benar-benar menikmati setiap momen dalam buku ini dan merasa terhubung emosional dengan karakter serta alur cerita yang ditampilkan. Oleh karena itu, bagi siapa saja yang mencari petualangan literasi yang menarik, inovatif, dan penuh kejutan, saya sangat merekomendasikan Fantasteen: Lucid Dream.

Expand filter menu Content Warnings
Saha Mansion by Cho Nam-joo

Go to review page

adventurous challenging dark emotional mysterious reflective sad slow-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

2.0

Di kota-negara misterius bernama Town, tujuh menteri tanpa wajah mengendalikan segala hal, namun siapa mereka sebenarnya tetap menjadi rahasia. Ada tiga kelas masyarakat: L—atau yang sering disebut Warga—yang kaya dan berpengetahuan, L2 yang hanya memiliki izin tinggal sementara, dan Saha, golongan yang tak diakui—termasuk imigran gelap, difabel, korban kekerasan, dan kemiskinan.

Ketika seorang dokter wanita terhormat ditemukan tewas dengan tanda-tanda kelebihan obat dan pelecehan, mata publik langsung tertuju pada tersangka dari golongan Saha. Namun, apakah benar dia pelakunya?

Di tengah kabut misteri yang menyelimuti kota-negara Town, penghuni Saha Mansion mulai menghilang satu per satu, meninggalkan kekosongan dan pertanyaan yang tak terjawab. Setiap kali seseorang menghilang, suasana Saha Mansion menjadi semakin tegang, rasa takut dan kecurigaan merajalela di antara penghuni. Dengan setiap petunjuk yang muncul dan setiap rahasia yang terungkap, kota-negara Town semakin terperangkap dalam lingkaran misteri yang tak kunjung selesai. Apa sebenarnya rahasia yang tersembunyi di balik dinding-dinding misterius Town yang tak bisa ditembus?

Saha Mansion karya Cho Nam-Joo memulai perjalanan dengan wara yang sangat menjanjikan, menggoda pembaca dengan janji misteri yang mendalam dan memikat. Sebagai penggemar genre misteri, saya tak bisa menolak untuk menyelami cerita ini dengan harapan menemukan teka-teki yang rumit dan memikat. Namun, seiring berjalannya cerita, saya mulai merasa bahwa misteri yang dijanjikan tidak sekompleks atau seintensif yang saya harapkan.

Awalnya, saya berharap bahwa buku ini akan menyajikan investigasi mendalam terhadap sebuah kasus pembunuhan yang misterius, memecahkan teka-teki yang tersembunyi di balik dinding-dinding Saha Mansion. Namun, harapan saya berubah ketika saya mulai tenggelam dalam alur cerita yang sebenarnya lebih fokus pada pengembangan karakter dan dinamika sosial, bukan pada misteri yang dijanjikan. Saya merasa seperti sedang diundang ke sebuah pesta misteri, tetapi yang saya temukan adalah sebuah kehidupan yang kompleks.

Meskipun ada pengungkapan mengejutkan tentang nasib penghuni Saha Mansion, cerita tersebut belum sepenuhnya berhasil memikat imajinasi saya. Meski beberapa bagian cerita berhasil menarik perhatian, ada segmen lain yang kurang memadai, menurunkan ritme narasi dan membuatnya terasa monoton.

Buku ini memang lebih berfokus pada genre distopia daripada misteri, menawarkan sebuah dunia yang kompleks dan penuh dengan ketegangan di kota-negara Town, tepatnya di Saha Mansion. Saya harus mengakui bahwa penulis berhasil menciptakan sebuah dunia distopia yang kaya dan penuh konflik. Namun, kekayaan tersebut tampaknya belum dieksplorasi sepenuhnya, meninggalkan ruang kosong dan kekecewaan bagi pembaca yang berharap menemukan lebih banyak lapisan misteri dan kompleksitas dalam cerita.

Dengan latar belakang dunia distopia yang rumit ini, penulis dihadapkan pada tugas berat untuk menjelaskan berbagai aspek cerita, menghasilkan narasi yang padat dan terkadang membingungkan. Ini adalah sebuah dilema, di mana upaya untuk membangun dunia yang kaya sering kali bertentangan dengan kebutuhan untuk menjaga kelancaran dan keterbacaan narasi.

Selain itu, kehadiran banyak tokoh dengan hubungan antartokoh yang kompleks menjadi tantangan tersendiri. Saya sering kali merasa terjebak dalam labirin karakter-karakter yang saling terkait namun sulit untuk mengikuti alur cerita, mengurangi intensitas rasa penasaran saya selama membaca. Saya merasa kesulitan untuk menemukan benang merah yang menghubungkan setiap karakter, membuat saya terjebak dalam ketidakpastian dan kebingungan.

Menuju akhir cerita, saya merasa seperti tersesat dalam labirin kata-kata dan plot yang rumit. Kebingungan saya meningkat dengan setiap halaman yang saya baca, membuat saya bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh penulis. Saat saya mencapai penutup, rasa kecewa melanda, meninggalkan saya dengan rasa penasaran dan frustrasi.

Penutupan cerita ini meninggalkan saya dengan banyak pertanyaan yang menggantung, seperti misteri yang belum terpecahkan. Apa tujuan sebenarnya dari cerita ini? Apa makna mendalam yang ingin disampaikan oleh penulis? Semua ini menantang saya untuk merenung lebih dalam, mencoba mengurai benang kusut dari plot yang rumit ini dan mencari pemahaman yang lebih mendalam. Namun, saat ini saya tetap merasa kecewa dengan bagaimana penulis memilih untuk mengakhiri cerita ini, meninggalkan saya dengan perasaan campur aduk dari frustrasi, kebingungan, dan ketidakpuasan.

Saya berkesempatan membaca versi alih bahasa Indonesia dari buku Saha Mansion yang diterjemahkan oleh Iingliana. Secara keseluruhan, saya menghargai pemilihan kata yang cermat dan penuh perhatian dalam menyajikan narasi yang mendalam.

Menurut saya, alih bahasa memang bukanlah tugas yang mudah, terutama ketika menangani sebuah karya sekompleks Saha Mansion. Alih bahasa bukan hanya soal memindahkan kata dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi juga tentang memahami dan menangkap nuansa, emosi, dan esensi yang ingin disampaikan oleh penulis asli. Iingliana dihadapkan pada tantangan untuk mempertahankan esensi dan kekayaan nuansa dari karya asli, sambil juga memastikan bahwa cerita tetap mudah diikuti dan dipahami oleh pembaca berbahasa Indonesia.

Dalam membaca buku Saha Mansion karya Cho Nam-Joo, saya merasa bahwa buku ini belum sepenuhnya menggugah minat dan mempertahankan ketertarikan saya sepanjang cerita. Kemungkinan besar, ini disebabkan oleh perbedaan selera pribadi saya dengan nuansa dan tema yang diusung oleh buku ini, serta gaya penyampaian narasinya yang mungkin tidak sesuai dengan ekspektasi saya. 

Namun, di balik ketidaksesuaian dengan preferensi pribadi saya, saya mengakui bahwa buku ini memiliki potensi besar untuk menarik pembaca lain yang mencari cerita dengan kedalaman dan kompleksitas yang lebih dari sekadar misteri. Buku ini menawarkan pandangan yang tajam tentang dinamika sosial dan karakter yang kompleks, yang mungkin sangat menggugah bagi mereka yang menyukai cerita dengan nuansa yang lebih mendalam.

Expand filter menu Content Warnings
Ikan Kecil by Ossy Firstan

Go to review page

adventurous challenging emotional funny informative mysterious reflective sad fast-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

4.0

Dalam kehidupan yang penuh tanya, pertanyaan “Kapan hamil?” menghantui pasangan suami-istri, Deas dan Celoisa, selama bertahun-tahun. Senyum adalah satu-satunya jawaban yang mereka miliki, hingga akhirnya sebuah keajaiban terjadi: kehadiran ‘ikan kecil’ di perut Celoisa. Namun, tiba-tiba, bayangan awan hitam menggantikan sinar cerah kehidupan mereka. 

Si ikan kecil ini memiliki dunia sendiri yang sulit dijangkau, menghadirkan tantangan baru dalam kehidupan rumah tangga mereka. Melalui serangkaian tes, apa yang ditemukan membuat mereka terkejut. Dalam perjalanan cinta dan harapan, kita akan diperkenalkan dengan kisah menghangatkan hati dari keluarga kecil ini. Deas dan Celoisa berjuang dengan penuh kasih untuk membesarkan si ikan kecil yang istimewa, yang mengajarkan mereka arti kesabaran dan cinta yang tak terhingga. Temukan keajaiban dan kekuatan yang tersembunyi di balik setiap halangan dalam lembaran-lembaran buku yang memikat ini.


“The only disability in life is a bad attitude.”


Buku Ikan Kecil karya Ossy Firstan menggambarkan kisah mendalam sepasang suami-istri, Deas dan Celoisa, yang sedang menantikan kehadiran buah hati mereka. Dengan gaya bahasa yang santai namun penuh makna, pembaca akan diajak merasakan setiap detik perjalanan emosional kehidupan pernikahan mereka. Buku ini bukan sekadar cerita perjuangan, tetapi juga refleksi tentang kekuatan cinta dalam menghadapi rintangan.

Kehadiran si ikan kecil, atau Olei, yang ternyata terlahir dengan
gangguan spektrum autisme
, menambah kompleksitas dalam perjalanan mereka. Ini bukan hanya tentang bagaimana mereka beradaptasi dengan keistimewaan Olei, tetapi juga tentang bagaimana cinta dan kesabaran menjadi kunci dalam menghadapi setiap tantangan yang muncul.

Tantangan baru muncul ketika Loi, panggilan akrab Celoisa, kesulitan menerima keadaan Olei. Ossy Firstan berhasil menggambarkan dinamika hubungan antara Loi, Deas, dan Olei dengan sangat mendalam. Pembaca akan terbawa emosi, dari rasa kesal ketika melihat sikap Loi yang sulit dimengerti hingga kekaguman pada Deas yang tetap teguh mendukung keluarganya.

Sebagai seorang pembaca, saya terpesona dengan buku ini, baik dari plot yang dirangkai dengan cerdas maupun gaya bahasa yang memikat. Saya dapat dengan mudah memahami setiap nuansa cerita, sehingga terasa seolah-olah saya ikut terhanyut dalam petualangan emosional yang dialami oleh setiap karakter.

Penokohan dalam buku ini disajikan dengan begitu mendalam dan detail, sehingga saya dapat merasakan suasana yang ditampilkan dengan intens. Mulai dari momen lucu yang mengundang tawa, kesenangan yang membuai hati, kesedihan yang meluluhlantakkan, hingga rasa kesal yang sulit untuk disembunyikan.

Salah satu momen yang paling mengesankan adalah saat saya merasa sangat kesal dengan sikap Loi. Keputusan dan tindakan yang dia lakukan seringkali membuat saya geram, membuat saya bertanya-tanya tentang alasan di balik pilihannya. Namun, saat saya mulai merenung lebih dalam, saya menyadari bahwa saya tidak memiliki hak untuk menghakimi perasaannya. Loi adalah sosok yang telah mengalami perjalanan panjang—dia adalah ibu yang telah merasakan kehamilan dan melahirkan Olei, buah hati yang begitu dia nantikan. Meskipun tindakan yang dia lakukan salah, perasaannya adalah bagian dari dirinya yang harus dihargai.

Dalam situasi yang penuh tekanan dan emosi, Deas muncul sebagai pilar kekuatan dan kedamaian. Meskipun dia mungkin juga merasa terbebani oleh situasi yang rumit, Deas menunjukkan kepala dingin dan keteguhan hati yang luar biasa. Tanpa mengabaikan kerentanan dan kesulitan yang dirasakan oleh Loi, Deas berusaha dengan gigih untuk menjadi jembatan yang menyatukan kembali ibu dan anak tersebut.

Keberanian Deas untuk tetap berada di sisi Loi, meskipun dalam keadaan yang sulit, adalah cermin dari cinta sejati dan komitmen yang tak kenal lelah. Ia memahami bahwa cinta bukan hanya tentang saat-saat indah, tetapi juga tentang bagaimana kita menghadapi tantangan bersama dan tumbuh dari pengalaman tersebut.

Ketekunan Deas dalam mendukung Loi dan Olei adalah bukti nyata dari dedikasi seorang ayah dan suami yang ingin melihat keluarganya bahagia dan utuh. Melalui tindakan dan ketulusan Deas, kita dapat belajar tentang arti sejati dari kebersamaan dan pentingnya mendukung satu sama lain dalam setiap situasi kehidupan.

Ikan Kecil karya Ossy Firstan adalah kombinasi sempurna antara cerita ringan dengan tema yang mendalam. Bagi mereka yang mencari bacaan yang menghangatkan hati dan memikat perasaan, saya sangat merekomendasikan buku ini. Buku ini akan membawa pembaca dalam perjalanan emosional yang mengesankan, membuat kita merasakan naik turunnya kehidupan dengan cara yang penuh cinta dan harapan.
Silsilah Duka by Dwi Ratih Ramadhany

Go to review page

dark emotional mysterious reflective sad tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? No
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

4.0

Buku Silsilah Duka karya Dwi Ratih Ramadhany menyingkap tabir dengan narasi yang tegas dan menghunjam, menampilkan pemandangan yang meratap. Bagai aliran sungai yang deras, saya dengan cepat terhanyut dalam alur cerita yang, meski tenggelam dalam gelap, mampu menelusup begitu mudah di benak saya. Meski terselip beberapa kata yang mengundang saya untuk merenung lebih lama, saya menemukan kedalaman makna dengan menjelajahi samudra kata di perpustakaan maya.

Sesuai dengan namanya, Silsilah Duka, karya ini memaparkan bagaimana duka tak hanya lahir, melainkan juga merembes dalam aliran waktu, membentuk karakter, bahkan menyulam tradisi. Melalui rentetan kisah yang dimulai dari Juhairiyah, Ramlah, hingga Majang, pena penulis menjejak kerumitan simpul masa lalu yang masih tersamar untuk diungkapkan.

Dengan tebalnya nuansa yang menyelimuti setiap halaman, buku ini menampilkan potongan-potongan kehidupan yang terjalin dalam 134 halaman, membentuk gambaran yang terdiri dari beberapa bab yang bersambung. Namun, di balik kerapatan itu, saya masih menemukan celah untuk pengembangan lebih lanjut, menggali plot menjadi sebuah novela yang memukau dengan kedalaman dan kejelasan yang lebih besar.

Dari segi penokohan, saya merasa sang penulis mampu mengukir dengan sangat baik. Terutama, saya ingin memberikan tepuk tangan yang meriah kepada sang penulis karena kepiawaiannya dalam membentuk karakter Juhairiyah yang begitu hidup—sehingga membuat pembaca merasakan gelora emosional, dari kemarahan hingga kejengkelan.

Saya menemukan bahwa setiap gerak dan tingkah laku Juhairiyah terasa sungguh nyata, seakan-akan dia hidup di hadapan kita. Bahkan, tidak jarang saya merasa tersinggung dan terganggu oleh perbuatannya, sebagaimana layaknya reaksi yang muncul terhadap seorang tokoh yang memiliki kepribadian yang kuat dan kontroversial.

Oh, bagaimana tidak, ketika membaca kisah Juhairiyah, seolah-olah saya telah terlibat langsung dalam percakapan dengan karakter tersebut, merasakan getaran emosi yang mengalir begitu alami. Sungguh, keberhasilan penulis dalam menjiwai tokoh ini layak diapresiasi dengan pujian yang setinggi-tingginya.

Meskipun cerita ini hanyalah hasil cipta imajinasi, namun tak dapat disangkal bahwa realitasnya mencerminkan kejadian yang sering menghiasi panggung dunia nyata. Bagaimana perempuan, terlebih yang telah melangkah menjadi seorang istri, haruslah meniti perjalanan hidup di bawah tekanan standar masyarakat yang kadangkala menyempitkan, bahkan menindas. Begitu mereka melangkah ke pelaminan, seakan-akan tangan-tangan tak terlihat mengikat mereka, merenggut hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

Tak hanya itu, buku ini juga menyoroti betapa seringnya kita terdengar menyebutkan bahwa surga terletak di bawah telapak kaki ibu. Namun, apabila sang “penjaga” surga tersebut ternyata bertingkah laku dengan kurang mulia, bagaimana nasib sang anak? Terlebih lagi, ketika sang anak berani mengingatkan sang ibu akan kebaikan, namun malah dituduh sebagai anak yang durhaka dan pemberontak. Sungguh, tema yang diusung begitu mendalam dan memikat hati.

Dalam kerangka cerita ini, kita dapat merenungkan betapa kompleksnya relasi antara ibu dan anak, serta bagaimana peran mereka saling memengaruhi dalam membentuk kepribadian dan pandangan hidup. Setiap baris kata yang terpahat dalam buku ini menghembuskan kehidupan pada tiap halamannya, mengajak kita untuk menenggelamkan diri dalam samudra perenungan yang mendalam.

Saya merasakan kesenangan yang tiada tara saat menjelajahi setiap lembaran kata, terutama dengan alur yang dipaparkan, naik-turun, menyuguhkan misteri yang semakin menggelora dan mengundang teka-teki di setiap putarannya. Namun, sayangnya, ketika kisah yang begitu berani diawali dengan langkah-langkah mantap, di penghujung perjalanan, saya merasakan kekosongan dalam narasi.

Dalam hal ini, saya merenungkan bahwa sebuah karya seni, sekalipun indah di awalnya, memerlukan kesetiaan terhadap visi dan keberanian untuk mengeksplorasi setiap lapisan cerita hingga akhir. Mungkin, keberanian yang diharapkan tidak hanya terletak pada langkah-langkah pertama, tetapi juga pada langkah-langkah terakhir, di mana penulis dapat mengekspresikan pandangan dan pesannya dengan penuh keberanian dan konsistensi.

Kelemahan ini, bagaimanapun, tidak melukai keindahan keseluruhan karya. Ia meninggalkan ruang bagi imajinasi pembaca untuk merenung dan berupaya menerka-nerka. Seolah-olah sang penulis dengan sengaja menabur beberapa petunjuk tersembunyi, menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya, atau bahkan menyisakan kesan ambigu yang memacu pemikiran pembaca.

Dengan demikian, setelah menyelami setiap halaman dengan cermat, saya menemukan bahwa Silsilah Duka karya Dwi Ratih Ramadhany adalah sebuah karya yang memikat, memukau, dan menggugah. Meskipun tak luput dari beberapa kekurangan, namun keindahan yang tersirat dalam setiap baris kata mampu menembus jantung pembaca dan membiarkan imajinasi terbang menjelajahi dunia yang diciptakan sang penulis. Sebuah karya yang patut diapresiasi dan diperbincangkan, mampu merajut benang merah kehidupan yang kompleks, dan menaburkan biji-biji pemikiran yang akan terus bersemi dalam ingatan pembaca.

Expand filter menu Content Warnings
The Case We Met by Flazia

Go to review page

adventurous challenging emotional informative mysterious reflective sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

The Case We Met karya Flazia, sebuah karya dalam jajaran MetroPop yang saya nantikan dengan penuh antusiasme untuk saya telusuri. Tanpa terlebih dahulu meraba premisnya, di benak saya sudah tergambar perjalanan romansa yang memikat, terpapar dalam setiap halaman.

Ketika saya memasuki dunia yang dihampar dalam halaman The Case We Met, saya harus mengakui bahwa saya terperangkap dalam belantara kebingungan. Rasanya, saya terpaksa mengulang-ulang narasi berkali-kali karena sulitnya saya untuk benar-benar terbenam dalam alur cerita. Salah satu tantangan utama yang saya hadapi adalah penggunaan panggilan nama yang tidak konsisten sejak awal. Saya bingung apakah “Red” dan “Dita” merujuk kepada dua individu yang berbeda, namun ternyata keduanya adalah sosok yang sama. Kejelasan ini hanya terungkap ketika saya melibatkan diri lebih dalam dengan setiap halaman yang saya balik.

Dengan kesabaran dan ketekunan, saya mulai memahami kisah yang dihadirkan. Pusaran kata dan adegan demi adegan mulai membentuk gambaran yang lebih jelas di benak saya. Saya merasakan bagaimana setiap putaran halaman membuka pintu ke pemahaman yang lebih dalam tentang karakter dan alur cerita.

Selain itu, dalam perjalanan membaca narasi, saya juga menemukan bahwa saya mampu memahami isi buku dengan baik. Meskipun terdapat beberapa istilah khusus dari dunia hukum dan kedokteran yang digunakan jauh merayu lautan asing bagi telinga awam, saya masih mampu menangkap maknanya karena penulis dengan teliti selalu berupaya menjelaskan kata-kata tersebut untuk mempermudah pemahaman pembaca yang mungkin awam dalam bidang tersebut. Keberhasilan penulis dalam menjembatani kesenjangan pengetahuan antara pembaca dan isinya sungguh menjadi nilai tambah yang memperkaya pengalaman membaca saya.

Saya tak dapat menyangkal bahwa buku ini benar-benar memikat perhatian saya, seakan menjadi magnet yang tak bisa saya lepaskan. Mungkin ini hanyalah soal selera pembaca, namun bagi saya, buku ini sungguh menghadirkan keseruan yang tak terbantahkan. Meskipun memenuhi dengan adegan kilas balik yang melimpah, saya tak merasa terganggu sedikit pun. Bahkan, saya melihatnya sebagai upaya penulis untuk memastikan bahwa setiap detail terjaga dengan baik, agar pembaca tidak kehilangan satu pun inti cerita.

Akan tetapi, seperti halnya dengan buku-buku lainnya, saya merasa bahwa buku ini masih memiliki kekurangan bagi saya secara pribadi. Terutama, terdapat beberapa adegan yang saya anggap tidak selaras dengan nilai-nilai dan preferensi saya. Khususnya, ketika narasi mulai menjelajahi wilayah romansa yang lebih dalam, terkadang adegan-adegan yang eksplisit, seperti ciuman atau lelucon yang berbau seksual, muncul secara tiba-tiba. Meskipun karakter-karakternya telah menikah dan mungkin hanya sekejap, tetapi saya tetap merasa tidak nyaman. Hal ini terutama karena buku ini sejak awal terasa kental dengan nuansa keagamaan, sehingga kehadiran adegan-adegan semacam itu terasa kurang sesuai bagi saya. Namun, saya sadari bahwa hal ini hanyalah preferensi pribadi saya, dan mungkin tidak selalu relevan bagi pembaca lain.

Selain itu, saya juga menyadari bahwa terdapat banyak sekali tokoh dalam buku ini. Meskipun tidak semua tokoh mendapatkan sorotan khusus, hal ini dapat menyulitkan beberapa pembaca untuk menjaga benang merah cerita. Terlebih lagi, penggunaan nama “Dita” yang terlalu sering bisa menjadi dilema tersendiri; meskipun menciptakan nuansa keunikan, namun dapat menjadi bumerang bagi pembaca yang berusaha mengikuti jejak setiap karakter.

Tidak hanya itu, penyelesaian kasus yang ditawarkan dalam buku ini juga masih menyisakan banyak tanda tanya. Kurangnya interaksi antara
Natan dan Sekar
, mulai dari awal hingga akhir persidangan, menimbulkan rasa kecewa. Saya merasa bahwa potensi untuk menggali dinamika yang lebih dalam seolah dilewatkan begitu saja oleh sang penulis, menyisakan ruang kosong yang belum terjamah oleh kepiawaian pena.

Sejauh perjalanan melintasi halaman-halaman The Case We Met karya Flazia, saya menemukan sebuah dunia yang mengagumkan, penuh dengan intrik, romansa, dan teka-teki yang memikat hati pembaca. Meskipun tak luput dari beberapa kekurangan, keseluruhan pengalaman membaca ini cukup seru dan memuaskan, terutama bagi mereka yang tengah merindukan sentuhan romansa dalam bacaan mereka. Dalam keunikannya, buku ini mampu mengajak pembaca melupakan waktu dan membenamkan diri dalam alur cerita yang memikat, membuatnya layak menjadi teman setia bagi malam yang sunyi dan hati yang haus akan petualangan.

Expand filter menu Content Warnings
Satu Pembohong (One of Us Is Lying) by Karen M. McManus

Go to review page

adventurous challenging dark emotional funny mysterious reflective sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

3.0

Dalam timbunan rahasia di Bayview High, sebuah tragedi mengerikan menghantam lima remaja yang tak terduga. Ketika jalinan kehidupan mereka terurai, misteri kematian Simon menjadi pusat sorotan yang menyeramkan. Setiap langkah mereka diperhatikan, setiap kata mereka diselidiki, dan setiap rahasia mereka digali dengan kejam, memaksa mereka terjebak dalam labirin kebohongan. Antara kepintaran Bronwyn, popularitas Addy, kenakalan Nate, dan kekuatan atletik Cooper, siapakah yang berbohong di antara mereka?

One of Us Is Lying (Satu Pembohong) karya Karen M. McManus menghadirkan kisah misteri yang dibalut dalam kehidupan dramatis remaja. Dengan menghadirkan beragam karakter, Karen M. McManus berhasil mengeksplorasi berbagai kepribadian remaja dengan detail yang memikat.

Bronwyn, sang kepala keras, memperlihatkan dirinya sebagai sosok yang terikat pada buku-buku dan pencapaian akademis. Namun, di balik kerangka prestasi yang kokoh, tersembunyi ketidakpastian dan tekanan yang menggerus hatinya. Addy, sang gadis populer, menari di atas lantai sekolah dengan banyak teman di sekitarnya. Namun, dibalik senyumnya yang dipaksakan, terdengar isak tangis kesepian yang tersembunyi di sudut gelap hatinya. Nate, si pemberontak, menantang keadaan dengan sikapnya yang penuh teka-teki. Tetapi, di balik aura ketidaktertarikan yang dipancarkannya, terdapat luka yang dalam dan terpendam, menggerogoti hatinya dengan penuh marah dan kehampaan. Cooper, sang atlet yang berkilau di atas lapangan, terlihat sebagai teladan kesuksesan dan kekuatan fisik. Namun, di balik senyumnya yang terukir di wajahnya, terdapat beban berat tekanan dari panggung kehidupan yang dipertontonkan. Dan Simon, walaupun telah tiada, namun bayangannya masih menghantui mereka. Rahasia yang diungkapkannya tentang teman-temannya menjadi bukti akan pengaruhnya yang masih terasa meskipun nyawanya telah tiada.

Dalam One of Us Is Lying (Satu Pembohong), plot utama yang melibatkan penyelidikan kematian Simon menghadirkan lanskap misteri yang penuh teka-teki. Pembaca dibawa dalam perjalanan yang menguji kepandaian detektifnya, dengan diperkenalkannya berbagai alibi dan motif yang mengaburkan garis antara kebenaran dan kebohongan.

Dengan setiap adegan yang membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, One of Us Is Lying (Satu Pembohong) mengajak pembaca untuk terus merenung, menganalisis, dan mencari petunjuk yang tersembunyi di antara baris-baris cerita. Akankah kebenaran akhirnya terungkap? Hanya dengan membalik setiap halaman dengan hati-hati, pembaca akan menemukan jawabannya di dalam labirin kebohongan dan intrik yang menarik dari buku ini.

Dengan sarat keahlian, Angelic Zaizai berhasil mengalih bahasakan One of Us Is Lying (Satu Pembohong) karya Karen M. McManus dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dengan cukup apik sehingga pembaca dapat dengan mudah terhubung dengan cerita yang disampaikan. Lewat gaya bahasa yang mengalir, Angelic Zaizai menghadirkan pengalaman membaca yang memastikan bahwa setiap nuansa dalam cerita tetap terjaga dengan baik.

Meskipun One of Us Is Lying (Satu Pembohong) memberikan saya hiburan yang memuaskan, saya tidak bisa mengabaikan beberapa hal yang membuat saya bertanya-tanya. Terutama, narasinya terkadang terasa agak lamban dan kurang memikat, dengan beberapa adegan yang tampaknya hanya memanjang tanpa memberikan kontribusi signifikan pada inti cerita. Sehingga, saya merasa tertinggal dalam gelombang kejutan yang seharusnya.

Tidak hanya itu, saya juga merasakan bahwa buku ini lebih banyak menyoroti drama remaja daripada menyibak misteri yang sebenarnya. Meskipun ada benang-benang misteri yang dijalin, terutama seputar penyelidikan kematian Simon, namun ceritanya lebih banyak menggali dinamika hubungan antara karakter utama. Padahal, saya rindu akan ketegangan yang harusnya mendominasi dalam sebuah kisah misteri yang memikat.

Seiring berjalannya cerita, saya semakin merasa bahwa akhir cerita terlalu cepat dan tergesa-gesa. Setelah mengikuti alur yang lambat sepanjang buku, saya berharap untuk mendapatkan penyelesaian yang lebih mendalam dan memuaskan. Namun, terasa seperti ada kebutuhan untuk mengakhiri cerita dengan cepat, sehingga memengaruhi ketegangan yang seharusnya terasa di puncak klimaks.

Meskipun demikian, saya tidak menutup mata terhadap kemungkinan bahwa preferensi pembaca bisa beragam. Mungkin apa yang kurang menarik bagi saya bisa saja menjadi daya tarik bagi orang lain. One of Us Is Lying (Satu Pembohong) karya Karen M. McManus tetap memberikan pengalaman yang menarik dengan karakter-karakter yang kuat dan plot yang penuh intrik. Bagi mereka yang lebih tertarik pada drama remaja dengan sentuhan misteri, buku ini masih layak untuk dijelajahi dengan lebih dalam.

Expand filter menu Content Warnings
Paraban Tuah by Elok Teja Suminar

Go to review page

adventurous challenging dark emotional informative mysterious reflective sad tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? It's complicated
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

5.0

Buku Paraban Tuah karya Elok Teja Suminar adalah sebuah sajian kebijaksanaan yang merangkum kehidupan perempuan-perempuan Madura dalam sebelas cerita penuh warna. Dengan sari kata yang mempesona, Elok Teja Suminar menyidik rasa gelisah dan kegerunan jiwa tokoh-tokoh yang terperangkap dalam belenggu tradisi dan kaidah yang berakar dalam adat istiadat. Mereka berdiri di hadapan gelombang, ingin meraih ruang yang setara untuk memancarkan gagasan dan kehendak mereka. Akan tetapi, seperti angin yang menghantam layar di tengah lautan, berbagai halangan dan rintangan menghambat langkah-langkah mereka menuju kemerdekaan. Dari reruntuhan tradisi hingga aturan-aturan sosial yang menakutkan, menjebak para tokoh dalam labirin yang rumit dan tidak berujung.

Mulai dari kisah “Orok”, terbentang kisah pilu seorang perempuan yang terperangkap dalam cengkeraman sang bapak, diaraknya seperti pion dalam pertunjukan kehendaknya. Mulai dari paksaan menikah hingga diperbudak sebagai sarana pemenuhan hawa nafsunya yang tak terbendung. Lalu, dari halaman “Kawin”, muncul tragedi memilukan seorang gadis muda yang hamil tanpa pengertian, dipaksa menikah untuk alasan ‘memperbaiki’ masa depan yang tak dimengertinya.

Berlanjut dengan “Semut”, di mana rasa takut akan sesuatu yang kecil menjadi cerminan dari ketakutan yang lebih besar, yang meluap dalam kekosongan hati. Dan “Mitun”, yang menyuguhkan kisah kepiluan seorang gadis yang kehilangan segalanya saat ibunya meninggal, menggiringnya pada pertarungan yang tak berkesudahan dengan diri dan takdirnya sendiri.

“Sarung Emak” mempersembahkan perjalanan Midah, seorang wanita tangguh yang menghadapi pengkhianatan suaminya dengan penuh keberanian. Dalam keteguhan hatinya, ia menolak menjadi korban dari permainan takdir yang kejam. Ketika suaminya memilih untuk menikahi wanita lain sebagai pengganti dirinya, Midah memutuskan untuk menapaki jalan kesendirian daripada menelan racun yang pahit. Dalam langkahnya yang teguh, ia membangun benteng kekuatan di dalam dirinya, menolak menjadi alat bagi ketidakadilan.

Sementara itu, “Kambing” membawa kita menyusuri lorong gelap kemanusiaan yang tersembunyi, di mana kejahatan sering dijadikan jalan keluar dari kebutuhan yang tak terpenuhi. Dalam hiruk-pikuk kehidupan yang penuh dengan keinginan dan kebutuhan, harga yang harus dibayar adalah kehilangan jiwa dan akal.

“Bhubuen” mengilustrasikan narasi kelam keputusasaan yang memuncak serta dendam yang menggelegak dalam putaran roda tak berujung. Sementara itu, “Paraban Tuah” mengungkapkan kelemahan manusia yang tersembunyi di balik tirai kesibukan, di mana pengabdian seorang anak menjadi sinar terang bagi mata hati yang terlanjur buta.

Cerita terakhir, “Setelah Kabur”, merentangkan jalinan jiwa yang diliputi oleh rindu dan penuh dengan tanya. Melalui lorong gelap pencarian identitas, kita diseret pada perjalanan yang tak terduga. Dalam setiap lembaran, terhampar garis tipis yang memisahkan antara cahaya dan bayang, harapan dan putus asa, memukau pembaca untuk terus mengintip halaman demi halaman.


Setelah merenung di antara lembar-lembar kisah yang membelit hati, gambaran tentang kehidupan manusia pun terbentuk, melintasi kompleksitas dan ketidakpastian. Liku dan jurang yang dalam membentuk panggung perjuangan, di mana tokoh-tokoh di dalamnya terhempas dalam arus yang mencekik, menghadapi tantangan yang berliku, melalui koridor gelap yang tak berujung.

Dalam buku ini, penderitaan perempuan-perempuan yang kerap kali menjadi korban dari jerat-jerat masyarakat dijelaskan secara detail. Mereka terperangkap dalam peran-peran yang tercipta, terkurung tanpa suara atau hak untuk mengukir takdir sendiri. Kisah-kisah ini, dengan berani, membongkar kedalaman rahasia yang menyelimuti kehidupan perempuan Madura, mengungkapkan kepedihan yang terpendam di balik tabir.

Namun di antara semua cerita, satu kisah yang mencuri perhatian saya adalah “Kambing”. Dengan penuh kekuatan dan kejutan, kisah ini merentangkan tragedi yang tak terlupakan, memotret penderitaan yang meresap dalam hati. Dengan tiap helai kata yang terjalin, “Kambing” berhasil menarik saya ke dalam dunianya yang gelap namun memikat.

Dengan demikian, Paraban Tuah karya Elok Teja Suminar bukan hanya sekadar sekumpulan cerita, melainkan sebuah jendela yang terbuka luas untuk memahami dan merasakan nuansa kaya dari kehidupan di Madura. Cocok bagi mereka yang haus akan kisah-kisah perjuangan perempuan yang memikat dengan aroma khas Madura yang kental, buku ini akan memenuhi dahaga akan petualangan jiwa yang mendalam dan penuh warna.

Expand filter menu Content Warnings
The Adventures of Amina al-Sirafi by S.A. Chakraborty

Go to review page

adventurous challenging dark emotional funny mysterious reflective sad tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? It's complicated
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? It's complicated

4.0

In the splendid literary masterpiece The Adventures of Amina al-Sirafi by Shannon A. Chakraborty, I must confess that my attention has been captivated for quite some time. It is not merely the enchanting cover of the book, designed by Mumtaz Mustafa and illustrated by Ivan Belikov, but also the epic promises emanating from its story premise that have drawn me in. Thus, with a hopeful heart, I embarked upon the journey through its pages. 
 
However, I did not immediately immerse myself in the narrative. It took me some time to navigate its intricate plot. Initially, my perspective was adrift amidst the flowing waves of words, compounded by confusion regarding the narrative viewpoint presented. Additionally, the varied vocabulary employed in the story remained partially veiled to my understanding. It was regrettable that, when consulting the footnotes or glossary provided, explanations for these words were rarely found. Consequently, I found myself investing extra time in comprehending each sentence, resorting to digital sources and the like for answers. Nonetheless, with patience and perseverance, I eventually succeeded in assimilating every nuance presented within the tale’s pages. 
 
The tale of The Adventures of Amina al-Sirafi by Shannon A. Chakraborty indeed revives the glory of a nakhuda named Amina al-Sirafi, immortalized as a hero amidst the mist of the ocean. She, a courageous woman, wearied from sailing across oceans to traverse time. 
 
Amina, oh Amina, an intrepid explorer with a fiery spirit burning within her. Alongside her steadfast companions, she traverses the corners of the world, uncovering mysteries amidst the twinkling stars. Yet, when the curtain of retirement finally shrouds her vision, a sudden call beckons her to return to the sea that yearns for her. Although the joy of embracing it once more fills her, lament and regret reign within her, compelling her to leave her beloved family once more. 
 
Thus unfolds a new chapter of Amina’s adventure, each step akin to a cluster of stars dancing in the sky. An adventure not only captivating but also filled with wonders and darkness. Otherworldly creatures, enchanting magic, and even bloodshed adorn her journey. 
 
In this tale, Shannon A. Chakraborty presents a rich and intricate portrayal of the fantasy world created, a world that breathes life into its culture, history, and politics. With a storytelling style flowing like a river and descriptions that transform into living paintings, readers are invited to immerse themselves in the whirlpool of a captivating adventure, brimming with surprises and gripping tension. 
 
As I sailed deeper into the currents of the story, pleasure undoubtedly crept into my soul. Even in the serene silence, tension danced at the edge of my heart, while frustration approached, evoking a sense of palpable frustration. However, some aspects of the story still seemed too shallow to explore fully. 
 
Within the recesses of my heart, a bittersweet essence lingered, complementing the journey in certain parts. Just like any great literary work, this book has become a focal point of debate and diverse studies among its observers and enthusiasts. Opinions gathered may vary regarding the cultural, social, or political representations in this story, as well as different perspectives on the evolution of characters and plots unfolded. 
 
There are cheers and somber reflections adorning the discussion, particularly when Shannon A. Chakraborty portrays the culture and religion amidst a landscape imbued with the aroma of the Middle East and the distinctive Arab flavor. Some feel a sharp impact, while others feel respected, or even identify weaknesses within it. 
 
Yet, amidst the deluge of opinions and torrents of criticism, it is crucial to remember that every stroke of the pen carries subjective interpretations and reactions. Diversity of viewpoints is one of the hidden treasures amidst the flow of literary discourse. Despite varying opinions and interpretations, within them lies the magic that makes literature a wellspring of inspiration, self-reflection, and a cornerstone of critical reflection. 
 
With all the grandeur and controversy surrounding the tale of The Adventures of Amina al-Sirafi, it is undeniable that it remains a topic of conversation among literature enthusiasts. Amidst the cheers and somber reflections, discussions about cultural values, religious thoughts, and the intricacies of the plot continue to flow like an ever-running river. It is a work that invites deep reflection, sparks discussions that stimulate critical thinking, and adds an unforgettable hue to the tapestry of the world’s literary richness. 

Expand filter menu Content Warnings