racoonorj's reviews
142 reviews

Semestaku, Semua Tentang Kamu by Minho Myeong

Go to review page

3.0

Ilustrasinya hangat, puisi yang diselipkan juga hangat. Di buku ini tema yang diutamakan adalah tema romansa, tentang kehidupan pasangan domestik yang tinggal bersama atau yang sedang berjauhan atau yang sudah menua bersama. Tapi di bagian kedua dan ketiga, ilustrator mulai merembet ke tema tentang kesendirian dan keluarga. Menyenangkan.

Awalnya aku agak ragu mau baca ini, karna judulnya menurutku "terlalu bucin", my single ass can not relate to that lol. Tapi yasudah, karna aku pecinta buku ilustrasi, i give it a shot. And then i love it, meskipun tetap gak bisa sesuka itu.
Gagal Menjadi Manusia by Osamu Dazai

Go to review page

4.0

"Andai saja aku bisa berkata jujur, mungkin aku bisa dengan lantang mengadukan kejahatan mereka kepada Ayah dan Ibu. Namun, aku bahkan tak memahami orang tuaku dengan baik. Tak ada satu hal pun yang dapat kuharapkan dari menggugat kepada manusia!"

Buku ini bisa dibilang adalah salah satu buku yang butuh waktu paling lama buat kuselesaiin. Awalnya kukira butuh waktu lebih gini karna emang kebetulan moodku yang lagi jelek gak bisa baca cepet, tapi ternyata tanpa disadari, ini memang merupakan efek samping dari baca buku ini.


Selama dan setelah baca buku ini, rasanya bener-bener capek, tenaga berasa kekuras habis, dan bahkan selama baca pun itu gak bisa lama² dan harus butuh jeda yang lama.


Alasan kenapa bisa capek baca ini? Karna: 1) tokoh utama di sini (Oba Yozo) sejak kecil udah mengalami yang namanya sulit percaya sama sesama manusia 2) dari situ dia punya "trauma" yang bikin dia terus berpura-pura ke semua orang dan ketika dia ngerasa ada orang yang mulai bisa "melihat" karakter dia yang sesungguhnya, dia bakal ketakutan setengah mati. 3) yang akhirnya menyebabkan dia sering melakukan tindakan² destruktif yang merugikan orang lain dan dirinya sendiri di akhir.


Dan itulah yang menyebabkan dia jadi merasa kalau dia "gagal menjadi seorang manusia".


Karna buku ini menggunakan sudut pandang pertama, jadi bisa dibilang kita di sini diajak untuk menyelami pikiran-pikiran gelap dan idealisme Yozo yang menyebabkan dia berakhir menjadi manusia yang "sekarang".
Kim Jiyoung, Born 1982 by Cho Nam-joo

Go to review page

5.0

Aku nggak tahu apa aja yang harus kutulis di sini.

Yang kutahu dan yang kurasain selama baca buku ini adalah, marah dan putus asa.
Aku marah, soal bagaimana masyarakat sering kali memperlakukan perempuan, wanita, seolah hanya sebagai beban. makhluk yang fisik dan mentalnya tidak layak untuk dipertimbangkan, dihargai, dan sering dianggap remeh.
Bahkan, ketika beberapa pria yang mengaku jika mereka mamahami apa yang satu atau dua wanita (terutama ibu rumah tangga dan wanita yang sedang dalam masa hamil dan bersalin) rasakan, tidak bisa yang namanya benar-benar memahami, toleran, dan empati kepada wanita lain yang sebenarnya mengalami hal serupa. Mereka hanya akan merasakan hal itu jika itu dialami oleh orang terdekat mereka (istri dan putri, dan mungkin untuk kasus psikiater di sini, dia seolah bisa memahami Kim JI-Yeong juga).

Dan yang membuat putus asa adalah, bagaimana sepertinya keadaan ini tidak akan berubah dalam waktu yang dekat(atau mungkin waktu lama sekalipun, karna buktinya, apa yang dialami Oh Mi-Sook juga dialami oleh Kim JI-Young. Sepanjang hidup, mulai dari generasi nenek, ibu dan bahkan hingga diriku, tidak bisa yang namanya merasakan perasaan aman untuk tinggal di lingkungan kita sendiri, di negara ini. Mengingat juga perihal RUUPKS yang tak kunjung disahkan oleh kementerian kita, membuat kita semua makin merasa tidak aman, memikirkan betapa mengerikannya kita yang sewaktu-waktu bisa mengalami pelecehan seksual dan kemudian pelaku tersebut bisa melenggang bebas setelah melakukan perbuatan keji seperti itu. Seperti salah satu kutipan di buku ini,

"Sementara para pelaku kejahatan mencemaskan sedikit hal remeh yang akan hilang dari mereka, para korban harus bersiap-siap kehilangan segalanya." - hlm. 157

"Segalanya" yang dimaksud di sini sendiri bisa diartikan dengan, : keperawanan, harga diri, kepercayaan diri, keberanian, kesucian, image baik, dan masih banyak lagi.
The Poppy War - Perang Opium by R.F. Kuang

Go to review page

5.0

[1.05 AM] i finished this book... holy shit i finished this book???!!!

[review soon]
Keajaiban Toko Kelontong Namiya by Keigo Higashino

Go to review page

5.0

"... Dalam situasi biasa, kita tidak pernah mendengar masalah orang lain. Tidak ada yang mau mendenger pendapat kita. Mungkin akan terus begitu seumur hidup. Jadi anggap saja ini kesempatan pertama sekaligus terakhir. Menurutku tidak ada salahnya." – Shota, pg. 29


Keajaiban Toko Kelontong Namiya sendiri sebenarnya menurut pendapatku mengangkat salah satu kepercayaan masyarakat Jepang yang sudah tidak asing lagi di telinga orang-orang, yakni tentang mitos Red String Fate atau Takdir Benang Merah. Jika mungkin yang kita ketahui Red String Fate ini berhubungan dengan menemukan pasangan takdir kita (romantis). Di sini justru Keigo Higashino menerapkannya sebagai benang merah yang menghubungkan hubungan antar manusia pada umumnya melalui perantara Toko Kelontong Namiya ini.


Aku sangat senang melihat bagaimana hubungan tiap manusia yang ada di buku ini saling terhubung dan secara tak langsung saling melengkapi kisah satu sama lain. Semua kebetulan-kebetulan yang disediakan bak telur paskah yang menghangatkan hati pembacanya (atau setiadaknya begitulah yang kurasakan).


Sedangkan untuk tokoh ketiga pencuri, - Atsuya, Shota, dan Kohei - aku sangat suka dinamik karakter mereka bertiga. Mulai dari Atsuya yang keras dan skeptis terhadap keajaiban yang ditawarkan Toko Kelontong Namiya, tetapi masih mau bertahan di sana karna peduli dengan kedua temannya. Kemudian Shota yang menerima keajaiban Toko Namiya dengan tangan terbuka namun tetap kritis dan berhati-hati membalas surat orang-orang yang meminta saran di sana. Sedangkan Kohei, ahh our sweet angel haha dia orang yang punya empati yang tinggi dan jelas mengagumi apa yang disuguhkan oleh Toko Namiya. Bahkan di antara ketiganyaa, dia orang pertama yang dengan sigap ingin membalas surat permintaan saran yang masuk ke sana.


Pokoknya aku senang banget bisa baca buku ini sekarang, cocok sama musimnya juga. Karna sekarang udah mulai masuk ke suasana holiday season jadinya asik aja kalo bisa baca buku yang bisa menghangatkan hati seperti ini. Belum lagi Keigo Higashino menceritkan kisahnya dengan ringan dan apik. Tim penerjemah gramedia juga menerjemahkannya dengan sangat baik. Jadi enak aja buat terhanyut di dalamnya hehe.

All the Bright Places - Tempat-Tempat Terang by Jennifer Niven

Go to review page

3.0

Kata-kata yang terngiang di kepalaku di momen ketika semuanya mulai lepas kendali di buku ini adalah, kemarahan, stigma, bunuh diri, kosong, empati, terlambat, penyesalan, rasa bersalah,
seandainya,
seandainya,
seandainya,
seandainya,
seandainya.

Semua stigma yang melingkupi orang-orang yang memiliki masalah kesehatan mental dan orang yang telah bunuh diri selalu mengerikan. Orang-orang terus melabelinya sebagai sesuatu yang salah, memalukan, tidak bermoral, tidak beriman, dan aib. Karna semua itu telah dikotak-kotakkan oleh orang-orang di area abu-abu.

Mereka sakit, tapi terkadang mereka sendiri tak tahu. Mereka butuh pertolongan, tapi terkadang mereka sendiri tak tahu... dan tak mau. Mereka takut dan tak ada yang tahu.

Selama setengah membaca buku ini jujur aku sempat beberapa kali merasa bosan. Perjalanan hingga Finch dan Violet bisa akrab dan mulai berpetualang bersama menyusuri Indiana bisa dibilang agak klise, tapi di momen ketika ia mulai menghilang, atmosfir buku mendadak berubah menjadi agak kelam, suram, dan melelahkan. Dan di akhir buku kamu mulai dibuat geram dengan perilaku orang-orang di sana.

Duka memang tidak pernah menyenangkan dan selalu berjalan beriringan dengan rasa sesal, amarah, dan rasa frustasi. Tidak semua orang bisa langsung menerimanya dengan baik.

Pada akhirnya, hanya waktu yang bisa menyembuhkan duka setiap orang. Tapi tidak dengan kenangannya. Dan untuk menyembuhkan orang yang sakit mental dan punya kecenderungan untuk bunuh diri butuh lebih banyak dari sekedar waktu.
The Song of Achilles - Nyanyian Achilles by Madeline Miller

Go to review page

5.0

Versi terjemahannya menurutku sukses menggambarkan gimana kisah Achilles dan Patroclus rasanya. Roller coaster perasaan yang dirasakan Patroclus ketika ia dekat dan hidup mendampingin Achilles. Hhh Patroclus, menurutku you're too good for Achilles. Too good to be involved with all of those Gods and Goddesses thing. You're too precious to Achilles too.


Ahh seriusan, di akhir rasanya setelah baca ini tuh sesek, gabisa nangis sesenggukan but i feel bad and sad. Entah Patroclus ini yang terlalu peduli sama Achilles atau terlalu naif dan baik aku gak ngerti. Achilles memang memperlakukan Patroclus dengan baik, cuma pada akhirnya ya yang dia pedulikan cuma keagungan dan takdirnya, tentang bagaimana reputasinya akan diingat setelah dia tiada. And Patroclus doesn't deserves that.


Tapi ya ironinya, sepanjang hidupmya, Patroclus ini sudah selalu diremehkan, dan cuma Achilles yang melihat kelebihan dan hal baik dalam diri Patroclus sampai akhirnya Patroclus jadi pendamping Achilles. Dan imo entah kenapa Achilles ini keliatan kayak mommy's boy gitu(?) Setiap ada masalah dia pada akhirnya selalu lari ke ibunya, Thetis yang seorang nymph laut. Tapi kalo udah menyangkut Patrclus sih, dia selalu stand on his ground di depan ibunya buat menampik hujatan dan kritikannya Thetis perihal Patroclus. Ugh, gatau harus ngerasa gimana. Pada dasarnya situasi di sini yang menyebalkan.


Tapi aku bener-bener menikmati buku ini meskipun butuh waktu lama buat nyelesaiin ini, karna aku pada dasarnya emang slow reader. Aku suka gimana Madeline Miller menjabarkan detil-detil kecil di lingkungan mereka dan perasaan-perasaan yang dirasakan Patroclus di sini. Bikin perasaannya jadi terasa nyata. Seriously, i literally read this like i read my fanfiction tho. Which mean, it is a good story.


Kudos banget pokoknya buat Madeline Miller dan tim terjemahnya Gramedia *clap clap clap

Dora Bruder by Patrick Modiano

Go to review page

3.0

sebenernya bingung juga mau kasih buku ini rating 3 atau 4. karna buku ini beberapa kali membingungkanku sama susunan timeline kejadian yang loncat-loncat dan banyaknya tanggal yang disebutkan di sini. tapi yang bikin aku pengen mempertimbangkan untuk kasih bintang 4 adalah kisah-kisah beberapa survivor dan korban holokaus yang terselip di antara kisah utamanya (Dora Bruder). rasanya cukup nyegerin bisa tau detail kejadian dari masing-masing tokoh yang berbeda di sini, meskipun ya, sekali lagi dibut bingung karna per bab bisa dimasukkan beberapa nama sekaligus.

jadi ya, mungkin lebih aman kalo aku kasih buku ini rating 3,5