blackferrum's reviews
664 reviews

022 by Lokalpcy

Go to review page

lighthearted medium-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? No

2.0

Hubungan rumit, akhir yang tidak cukup sulit.

Selesai manggung, Cakrawala berniat langsung kembali ke indekos karena ada tugas kuliah yang belum selesai, plus dia lelah luar biasa. Manajernya datang mengabarkan ada media yang mau wawancara. Bubrah rencana Ceye (nickname Cakrawala). Mood-nya anjlok. Sebelum menyadari jika reporter yang mewawancarai punya penampilan unik dan berbeda dari reporter kebanyakan. Dan roda kisah mereka mulai berputar.

Mengesampingkan gaya penulisannya yang suka-suka banget, sebenarnya ceritanya menarik. Tapi, mulai off banget waktu Ceye menyatakan perasaannya ke Ladin.

Pertama, apa Ceye udah cari tahu Ladin nggak keberatan dengan caranya membawakan lagu favorit cewek itu dan jadi kode kalau dia punya perasaan lebih ke dia?

Kedua, gimana caranya orang-orang langsung tahu Ceye natap siapa? Bisa aja, kan, ada yang outfit-nya kembaran. Lagi pula, itu banyak banget orang posisinya. Masa iya mereka langsung paham siapanya, kecuali emang orang-orang di dekat Ladin berdiri saat itu (dan kayaknya bakal loading lama juga, sih).

Ketiga, waktu mereka akhirnya ngobrol di mobil, Ceye jelas-jelas mendesak Ladin buat jawab pertanyaannya. Dia kelihatan gusar karena Ladin hanya diam, nggak mulai inisiatif. Lalu ada kesan (menurutku) Ceye kecewa Ladin nggak bisa lihat ketulusannya bawain lagu favorit dia di atas panggung padahal nggak begitu mendapat antusiasme penonton. Pertanyaannya, yang nyuruh lu begitu siape, Ye?

Sepanjang baca ini terlalu gemas dengan kelakuan para cowok yang nembak Ladin ini. Ceye yang kekeuh mempertahankan posisi dan secara nggak langsung malah nyerang Ladin. Lalu, Wira yang mendadak jadi cowok jahat karena nggak mau mengerti isyarat. Bentar, buat yang terakhir Ladin juga ada andil, karena nggak tegas.

Bagian yang aneh sebenarnya ya, soal Ceye yang seolah melimpahkan kesalahan ke Ladin karena nggak mau menerima dia atau nggak egois sama perasaannya. Terus mendadak narasinya jadi berubah memojokkan Ladin. Padahal ya, di awal nggak ada indikasi Ladin trauma atau penjelasan apa gitu yang bikin dia harus mikir dulu buat jawab pernyataan Ceye.

Bukannya mau menggampangkan trauma, tapi alasan trauma Ceye soal hubungan itu bagiku kurang kuat. Kalau diperkuat di bagian itu kayaknya bakal oke aja, sih, dia nggak bisa tegas sama perasannya atau apa. Malah bagiku, masalah Ladin ini harusnya ada di Ceye alias kebalik.

Oh, ya, bukannya membela Tara, tapi emang jahat banget sih perlakuan Ceye ke Tara. Seenak jidat banget didekati lagi pas lagi semi patah hati. Alasan apa pun tetap nggak masuk akal kalau ending-nya dia gituin Tara.

Again, buku ini kayaknya memang bukan mangkuk dan porsiku. Semoga bisa bertemu buku lain dari penulis yang lebih sesuai selera.
Gashale by Herania

Go to review page

emotional lighthearted reflective medium-paced
  • Plot- or character-driven? A mix
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.0

Antara cowok dan cewek mustahil bisa berteman tanpa ada perasaan. Awalnya Asga, Rale, dan Masha bisa menampik pernyataan yang sering diperdebatkan itu. Bagi Rale, Masha sudah seperti adiknya sendiri. Sedangkan, Asga adalah saudara lelaki yang nggak Rale punya. Asga juga menganggap Masha sebagai sahabatnya, sampai akhir-akhir ini perasaannya semakin tidak bisa dikendalikan.

Gashale adalah channel YouTube yang dijalankan oleh tiga orang; Asga, Masha, dan Rale. Nama channel yang diambil dari tiga pemiliknya itu sukses menarik banyak orang karena menyajikan konten yang "berisi". Selama hampir tiga tahun, semuanya berjalan lancar, sebelum dua di antara mereka saling jatuh cinta.

Pas nulis reviu ini, refleks bilang, "Tuh, kan! Akhirnya jatuh cinta juga!" tapi percayalah, maksudnya senang-senang saja mereka pacaran karena Asga is a good boy. Masha juga cewek baik-baik, nggak neko-neko. Masalahnya ada di Rale yang protektif banget ke Masha karena udah kayak adiknya sendiri.

Eh, serius, kayak begitu jadi masalah? Tapi Masha bukan adiknya Rale beneran, kan? Nah, di sini ada back story-nya. Adik kandung Rale meninggal karena kecelakaan. Beberapa tahun kemudian, Rale ketemu Masha yang lagi sendirian di Jakarta karena orang tuanya tinggal di luar negeri. Mereka akrab dan Rale menemukan beberapa kesamaan di diri adik kandungnya, Gina, dengan Masha.

Ceritanya nggak rumit kalau nggak ada plot twist yang bikin pembaca (khususnya aku) pengin bolongin tembok. Baik Asga, Rale, dan Masha punya keterkaitan langsung dan nggak langsung. Mereka ini kayak kumpulan orang terluka dan saling menyembuhkan.

Paham banget sama sikap dan keputusan Rale di akhir karena yah, dia kan terluka, ya. Dukanya masih belum sembuh even bertahun-tahun berusaha menghindar dari sumber masalah. Ini membuktikan kalau waktu nggak cukup bisa menyembuhkan tanpa ada tindakan.

Kasihan sama Masha sebenarnya. Cuman apa ya, dia ada juga karena Rale butuh semacam trigger buat bangkit lagi.  Pokoknya mereka bertiga ini saling melengkapi banget, lah.

Di buku ini cuma dikasih 2 sudut pandang; Asga dan Masha. Awalnya sempat mikir kayaknya nggak adil kalau Rale nggak dikasih porsi juga, tapi kayak kata buddy read-ku, kayaknya bakal stres banget kalau baca pov Rale, secara dia, kan *silakan baca sendiri*.

Sejak baca Mana Hijrah?! aku udah suka sama tulisan Kak Herania. Pas dapat kesempatan buat baca dan mengulas buku ini, jelas bahagia banget. Walaupun voice cowok di sini masih kurang menonjol, tapi cukup terbantu dengan adanya penanda sebutan "aku" buat Masha dan "gue" buat Asga. Sama satu lagi kekurangannya, kurang panjang ceritanya *cry cry*. I need more :p

Ini teori konspirasi semata, tapi apa emang sengaja nggak ada pov Rale karena bakal ada kisahnya sendiri? *berteori apa nodong* xD

Anyway, yang butuh bacaan romance gemas, tapi juga bikin nangis, bisa baca buku ini!
The Second Best by Morra Quatro

Go to review page

dark emotional lighthearted reflective medium-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

3.75

Ini buku pertama penulis yang aku baca. Buku ini punya kesan kuat soal kehidupan remaja akhir yang kehidupannya serba nggak pasti dan nggak punya cukup buku petunjuk buat keluar dari satu masalah (or simply one of our negative thought).

The Second Best mengarah pada Gwen yang memilik Aidan sebagai orang yang dia kagumi, sukai, bahkan cintai. Lewat PSM, mereka dipertemukan dan lewat situ pula, kedekatan mereka menyeret Edgar. Primadona dalam unit kegiatan kampus yang pelan-pelan ikut menghanyutkan perhatian Gwen.

Keteguhan hatinya untuk Aidan perlahan mengikis berkat eksistensi Edgar dan perlahan berhasil mengalihkan fokus Gwen dari Aidan. Lagi pula, Aidan sudah punya "pawang". Jadi, Gwen tidak punya banyak pilihan selain tetap memperjuangkan dan dianggap sebagai cewek-nggak-tahu-diri-yang-merebut-cowok-orang atau leave him.

Masa lalu Edgar mulai memperlihatkan apa yang selama ini tidak pernah Gwen lihat. Meskipun selama ini sudah merasa saling mengenali diri masing-masing, Edgar lebih "gelap" dari yang Gwen duga. Edgar menjelma menjadi sosok yang jauh dari bayangan, bahkan realita Gwen.

Buku ini punya premis yang simpel sebenarnya, tapi narasi penulis sukses bikin vibe-nya jadi lain. Bagi yang lagi cari novel romance estetik dan sendu, bisa coba buku ini.

Btw, aku suka ending-nya. Rasanya ngepas aja sama alur ceritanya.
Second Chance by Momom_Alili

Go to review page

lighthearted medium-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? No
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? No

2.5

Ranti patah hati ketika Dewa memutuskannya begitu saja lewat pesan. Bahkan enam bulan kemudian, tetap tidak ada kejelasan. Yang mana ini aneh karena mereka satu kampus dan punya probabilitas yang besar untuk bertemu. Lalu ketika berjumpa kembali, Dewa memperkenalkan seseorang sebagai kekasihnya. Ranti kembali patah hati.

Nara datang ketika Ranti merasa hopeless dan menawarkan hubungan baru. Tidak ingin menjadikan Nara sebagai pelampiasan, Ranti memutuskan untuk mempertahankan status mereka sebagai teman baik. 

Usaha Nara tidak berhenti sampai di sana. Segala cara dilakukan agar Ranti mau menerima hatinya dan menyembuhkan patah hatinya. Sampai kebenaran mengenai kondisi Dewa membuat semua usaha Nara bubrah. Ranti kembali pada Dewa. Sedangkan Nara harus merelakan perasaannya demi sang sahabat.

Judul buku ini menyiratkan dua arti di dua ML yang berbeda. Pertama, kesempatan kedua buat Dewa, lalu kedua untuk Nara. Rasanya agak kurang adil dan terkesan dipaksakan kesempatan kedua untuk Dewa maupun Nara ini, terutama Nara.

Sepanjang membaca, rasanya gregetan terus. Bisa-bisanya Ranti diam aja diputusin lewat pesan. Enam bulan nggak bertindak. Oke, memang Dewa menghindar, tapi yah dunia mereka bukannya di situ-situ aja, ya? Mana waktu Nara ngapelin Ranti dia datang lagi bawain makanan kesukaan Ranti. Kayak, hah? Serius lu, sekarang banget? Kemarin-kemarin ke mana?

Masih soal menghilang itu, Ranti punya sahabat nggak hanya satu. Apalagi si Maya yang terkenal tegas dan galak. Bisa aja, kan, dia maksa nyari Dewa biar jelas alasan Dewa minta putus. Kecuali habis mutusin Dewa pindah ke luar pulau atau luar negeri. Baru, deh.

Kesempatan kedua yang kurang adil berlaku buat Nara. Rasanya kok masokis banget cowok ini, ngejar susah-susah, eh, ternyata ceweknya balik sama mantannya. Belum lagi dia mesti banget lihat proses balikannya. Udah kenapa, bang, mundur aja yang jauh!

Apa tepat kasih kesempatan kedua buat Nara? Tepat-tepat aja, sih, tapi fokus buku ini jadi ke Nara nanti karena tbh aku bingung ini fokus ML-nya siapa. Dewa harusnya nggak perlu dijadikan spotlight lagi, sih, bisa sepintas lalu. Kalau Nara ujungnya beraksi kayaknya mending Nara yang dijadikan ML utama.

Oh, aku ingat salah satu bagian ngenes Nara yang lain, waktu Dewa nunjukin rumah barunya. Di situ dia ngasih permintaan ke Nara yang mana bikin jengkel. Bukannya haru malah kesal. Kok, tega banget Ranti sama Dewa ini, pas manis dilupakan, pas butuh langsung dirangkul Naranya. You deserved better, Nara.

Perasaan Nara ke Ranti ini insta love masuknya dan bukan tipe yang aku suka banget karena bener-bener kilat. Lihat cakep, mendadak aja udah suka. Pokoknya pas lihat wajah Ranti langsung, "Oh, gue mau hidup sama dia!" aja gitu. Hmm, well.

Satu lagi yang bikin gerah, dialognya kayak lagi lihat relay badminton. Jeda narasi ada, tapi maksudku kurang bisa mengimbangi porsi antara narasi dan dialog. Mana kalau ada pertanyaan di satu dialog dibalesnya berderet lagi. Kayak misal, "Oh, kamu baru datang? Kok nggak bareng cowokmu? Di luar masih hujan, ya?" dibalas dengan, "Iya, aku baru datang. Tadi Dewa lagi blablabla. Iya, nih, di luar hujan." (note: ini bukan dialog asli dalam buku, hanya contoh belaka). Dan ini salah satu hal yang bikin aku off sama cerita. Kayak harus banget dijawab semua? Dalam satu kalimat?

Buku ini mungkin memang bukan cangkirku aja, sih. Hopefully bisa ketemu buku lain dari penulis yang lebih cocok.
Suicide Knot by Vie Asano

Go to review page

dark emotional mysterious reflective tense fast-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.0

Akhir-akhir ini berita mengenai perundungan marak terjadi. Alasannya macam-macam, yang pasti, pelaku merasa melakukan itu hanya untuk kepuasan pribadi. Miris. Apalagi pelakunya masih SMA.

Hal serupa dialami oleh Anne. Setelah kematiannya, Karen mulai merunut lagi masa lalu sahabatnya. Kejadian ganjil dari video siaran langsung gantung diri Anne memicu terbukanya satu per satu petunjuk yang dia tinggalkan untuk Karen.

Semua petunjuk mengarah pada satu orang; Bianca. Cewek berwajah malaikat bersama para bodyguard-nya itu punya sejarah panjang bersama Anne. Persaingan tidak sehat membuat motif Bianca semakin jelas di mata Karen. Belum lagi beberapa fakta yang Anne sebar memperlihatkan betapa hidupnya penuh dengan kegelisahan.

What I like, kehidupan Anne yang terkuak lewat kode yang dipecahkan Karen nggak hanya berasal dari lingkungan sekolah, tapi keluarganya juga. Jadi, ada tekanan lain yang akhirnya membuat sosok Anne makin terpojok.

Jika Playing Victim memperlihatkan dampak sosial yang terjadi dari suatu peristiwa, buku ini mengajak pembaca menebak siapa dalang di balik kematian Anne.

Perundungan di buku ini cukup graphic, ya. So, be wise. Sebelum baca siapkan amunisi mental yang banyak. Gila juga kelakuan Silver Girls ke Anne. Sama sekali nggak ngotak dan bikin greget, akh!

Banyak yang mau kubahas, tapi nanti malah kepanjangan. Intinya, aku suka buku ini. Feel thrilling dan misterinya dapet. Mau nggak mau harus mengulik lagi soal bullying karena topik ini mesti banget dibahas kapan pun. Penting karena dampak ke korban bisa seumur hidup.

Seperti reviu yang aku baca sebelumnya, gimana caranya Bianca tahu kalau akun yang nyebarin gosip soal dia itu Karen, aku juga nggak begitu paham. Emang Bianca ini ada tim IT dan yang aku tangkap mungkin lebih kayak social media specialist gitu, ya, alih-alih macam hacker. Tapi, nggak salah juga dia tahu karena ya siapa lagi kalau bukan Karen yang ngelakuin? Mereka ada konflik waktu itu, kan?

Terus sama kayak kesan beberapa pembaca lain, ending-nya agak kurang memuaskan. Sejujurnya agak nggak adil buat Karen. Kayak kenapa gitu dia mesti kena juga? Bukannya Anne ya yang emang nggak mau terbuka sama Karen? Tapi karena satu insiden itu dia kena juga? Tapi lagi ya make sense, mungkin aja pas itu Anne juga emosi karena kan posisinya dia dirundung.

Udah itu aja yang agak mengganjal. Kalau kepikiran yang lain nanti kutambahin (kalo ingat hehe).
Myth Jumpers by AlfibRizky R

Go to review page

adventurous dark informative mysterious tense slow-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

3.5

The truth is selama baca ini nggak paham bagian science-nya. Sama sekali. Plus yang aku tangkap di sini ada gabungan beberapa mitologi yang setelah kupantau comment section-nya banyak ngomongin hal-hal yang nggak kupahami karena masih asing banget sama universe-nya (bagian mitologinya itu).

Tapi, aku paham inti ceritanya. Ini mirip konsep superhero juga, tapi versi campuran manusia dan darah campuran. Lucas Andrews bersama dua sahabatnya, James dan Laura, mendadak mendapat misi menyelamatkan umat manusia dari kehancuran dan mencegah pecahnya perang antardewa. 

Petualangan mereka berusaha mengalahkan wyvern dan mencari penyebab musim dingin berkepanjangan (sekaligus mencegah fimbulwinter) bisa dibilang menegangkan. Penulis mampu mengimbangi ketika karakter diberi satu kemudahan, maka ada rintangan yang harus dihadapi.

Buku ini dibagi menjadi tiga bagian; pertama mengenai musim dingin berkepanjangan dan fokus ke masalah bertahan hidup. Di sini memakai sudut pandang Lucas dan konflik di seputar keluarganya. Vibe-nya agak suram, persis cerita-cerita distopian sebelum perubahan kehidupan dimulai.

Bagian kedua masuk ke penerimaan identitas baru oleh Lucas dkk. Mereka mau tidak mau harus menjalankan amanat Odin. Di bab ini juga penjelasan mengenai science; konsep hyperspace, sistem penyimpanan terbesar, dll, disuguhkan. Berat memang pembahasannya dan meskipun sampai akhir aku nggak bisa menangkap konsepnya, tetap sending applause untuk usaha penulis menyederhanakan penjelasannya.

Bagian ketiga lebih banyak fokus ke aksinya. Jujur, di bagian ini (tepatnya beberapa bab awal) ngalir banget bacanya. Pertemuan Luke dan Laura dengan beberapa karakter tambahan bikin alurnya makin kompleks. Aku suka bagian ketiga ini, meskipun yah emang panjang banget, sih, satu babnya.

Buku ini punya kombinasi rating seperti caraku me-rate buku sci-fi lainnya. Bintang tiga untuk alur ceritanya (penilaian subjektif) dan empat untuk world building dan berbagai konsepnya (penilaian objektif) . Alurnya memang bagus dan beberapa bagian merasa ngalir-ngalir aja, tapi rasanya masih agak "njelimet" buat ukuran alur cerita. Jadilah diambil rata-rata dari dua rating: 3,5.

Thanks to my buddy read yang udah nemenin baca ini, meskipun aku kebanyakan ngeluh :D pengalaman baca yang cukup menantang di tahun ini.
Under Your Spell by Pradnya Paramitha

Go to review page

funny lighthearted relaxing medium-paced
  • Plot- or character-driven? Plot
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

4.5

Selalu menyenangkan membaca karya Pradnya. Ide ceritanya memang agak mainstream, tapi eksekusinya punya keunikan yang bikin pembaca betah tinggal untuk baca sampai akhir.

Just like this book. About a girl tried to get her crush's heart by make him a ramuan cinta. Hal yang agak kurang rasional di zaman sekarang, kecuali emang beneran dateng ke dukun. Padahal juga, Citra itu siswi berprestasi, yang otomatis cara berpikirnya rasional, kan? Yah, balik ke pepatah lama yang relate untuk semua jenis situasi; cinta itu buta.

Naasnya, bukan ke-deliver ke crush malah nyasar ke orang lain. Orang yang nggak begitu Citra suka karena pengalamaannya dapat perlakuan sombong selama wawancara, Nicholas Panji. Lebih ngenes lagi, Nico itu artis sekolah yang otomatis ketika ramuannya mulai menunjukkan efek, posisi Citra terancam oleh para fans-nya.

Interaksi Citra dan Nico bikin gemas sekaligus giggling. Nico dengan usahanya tanpa kendor, Citra dengan segala ke-overthinking-annya. Kombinasi yang cukup umum ditemukan di novel-novel remaja, tapi selalu bisa bikin greget dan baca sampai tamat. Mungkin faktor ini tulisan Pradnya, mungkin juga semua unsur ceritanya ngalir gitu aja.

Soal ramuan, itu ide cerdas banget, sih. Topik yang nggak asing di teenlit era dulu dikombinasikan dengan kemampuan manusia berpikir terlalu jauh (re: overthinking). Kayaknya orang macam Citra (yang klaim dirinya cewek biasa aja) bakal kepikiran juga, sih, orang seganteng dan sepopuler Nico mendadak kejar-kejar dia dan berujung mempertanyakan motif di baliknya. Terus berakhir ke trust issue. Dahlah mantaps!

Buku ini ringan memang, apalagi masuk ke segmentasi teenlit. Dunia remaja emang rumit, lebih rumit lagi kalau urusan cinta ikut campur. Yang lagi cari bahan bacaan ringan, seputar remaja, tapi tetap kompleks, bisa coba baca ini, sih.
Gugat by Midgardst

Go to review page

emotional lighthearted reflective slow-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? Yes
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

3.5

Pertama kali baca di aplikasi oranye atas rekomendasi teman udah jatuh cinta duluan sama gaya berceritanya yang nggak hanya menyuguhkan narasi penuh metafora dan rumit dipahami. Premisnya bukan sesuatu yang baru, tentang Gemala yang merasa rumah tangganya selama tujuh tahun ini tanpa rasa. Mereka harus bercerai. Tekanan dari keluarga besar sampai sikap suaminya sendiri menjadi pemicu untuk bersikap tegas. Namun, tanpa disangka Sagala menolak permintaan tersebut yang makin membuat Gema heran, bukankah pernikahan mereka selama ini tidak berarti apa-apa untuk lelaki itu?

Karakter Gema sebagai wanita independen di sini yang aku suka. Dia bisa melakukan banyak hal buat menopang hidupnya sendiri plus keluarga. Lalu ketika menikah dan diminta untuk tidak bekerja rasanya malah membangun penjara tak kasatmata. Gema seolah dipaksa lumpuh. Jadi, ketika akhirnya dia berani bertindak setelah ketidakberdayaan, langkahnya juga nggak main-main. Plus karakternya konsisten sampai akhir.

So, meskipun dia akhirnya balik ke Gala, sifatnya tetap sama, nggak tiba-tiba berubah jadi menye atau manja nggak jelas. Perubahannya masih di tahap yang wajar menurutku.


Ini berlaku juga buat Gala. Karakternya konsisten "dingin" sampai akhir. Berkat background masa lalu, ditambah tekanan tanggung jawab sebagai pemimpin, dan hasrat untuk tetap mempertahankan apa yang dia miliki (yang mana berhubungan juga dengan masa lalunya), sukses membentuk kepribadian yang seperti itu, pun setelah konflik pertama terlewati, dia nggak bisa berubah seratus persen.

Romansanya nggak over. Kadarnya pas, sesuai alur dan karakterisasi. Perjalanan menuju gugatan, masa gugatan, sampai hasil akhir dari gugatan itu rasanya cukup mewajarkan jumlah halamannya yang banyak. Yep, buku ini tebal, tapi nggak mengintimidasi.

Sebenarnya yang lebih mengintimidasi itu ukuran font-nya :D untuk ukuran buku setebal hampir 500 halaman, tulisan yang diperkecil bukan kombinasi yang bagus. Yah, mungkin karena faktor naskahnya nggak bisa dipotong? Entah.

Untuk ceritanya, aku suka banget, tapi beberapa hal mencegahku menaikkan rating. Utamanya naskah ini kayak nggak diedit. Meskipun slow burn, bagian yang seharusnya nggak usah dicantumkan masih banyak. Belum lagi typo yang bertebaran. Semoga versi cetulnya bisa diperbaiki.
Playing Victim by Eva Sri Rahayu

Go to review page

dark emotional informative mysterious reflective tense medium-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Loveable characters? No
  • Diverse cast of characters? Yes

3.75

Bukan hal baru jika media sosial bisa menjadi tempat selain menyenangkan juga mengerikan. Hal-hal yang seharusnya menjadikan orang lain terhibur tiba-tiba berubah menjadi ajang perebutan validasi. 

Begitu juga yang dialami Isvara, Calya, dan Afreen. Setelah berita mengenai pingsannya Isvara akibat "kekejaman" guru olahraganya, berujung pemecatan sang guru, viral, ketiganya berlomba membuat diri mereka menjadi terkenal dan mendapat banyak perhatian.

Setelah lulus SMA, pamor mereka kebut-kebutan. Afreen berhasil menjadi selebgram yang menarik banyak perhatian berkat konten-konten membuat musiknya. Calya menjadi selebgram dengan label cewek badass dan tidak jarang memperlihatkan gaya hidup bebas. Sedangkan Isvara, belum menjadi apa-apa.

Kecemburuan muncul ketika yang lain mendapat lebih. Lalu masing-masing mencari cara menjatuhkan satu sama lain. Persahabatan mereka putus dan permasalahan datang satu per satu membuat ketiganya memilih jalan ekstrem untuk mempertahankan eksistensinya di dunia maya.

Hal fana dan maya lama-lama bikin muak. Apalagi setelah melihat usaha tiga sahabat di buku ini. Enggak ada yang lebih gila, semuanya gila. Demi popularitas semu, mereka rela mengorbankan kewarasan juga nyawa.

Jujur kalau ditanya siapa yang paling bikin kesal bingung, sih, karena semuanya gila. Isvara rela kena KDH demi bisa menarik perhatian banyak orang. Bagian dia sampai harus cek HP--utamanya medsos--itu sakit banget. Rasanya kepengin neriakin mereka semua biar tobat. Ampun, deh, udah kecanduan itu, sih.

Calya nggak lebih baik. Imejnya sebagai cewek gorgeous nggak bikin dia "bersih". Usahanya menampilkan imej sebagai cewek sempurna; cantik, punya pacar ganteng, hidup oke, nggak bisa balikin sifat aslinya yang bejat abis! Gaya bossy-nya nyebelin banget. Astaga, kepengin nimpuk kepalanya pas dia nyuruh dua sahabatnya bela dia waktu ada kasus. Eh, bukan menyuruh, sih, maksa itu, mah.

Afreen juga sama aja. Label harus bisa lebih baik dari semua orang dan manusia suci bikin dia lama-lama terobsesi menjurus ke gila. Hanya karena nggak mau kalah dengan selebgram lain sampai membabat batas kewarasannya.

Astaga, kenapa harus kujelasin panjang lebar? Intinya, mereka semua gila.

Penulisnya sukses membuat karakter yang bikin emosi pembaca karena saking gilanya mereka, pemikiran waras kita jadi ikutan terguncang saking stresnya. Berkali-kali membatin, "Kok ada ya, manusia kayak gitu" dan well, meskipun ini fiksi, tapi nggak menutup kemungkinan di dunia nyata memang ada. Oke, mari nggak usah pikirkan itu.

Sebenarnya aku suka dengan gaya berceritanya yang ngalir banget. Pesan tersirat maupun tersurat yang tersampaikan juga nggak terkesan dipaksa. Kayak kegilaan tiga karakternya ngalir gitu aja, bukannya dibuat-buat. Tapi, mungkin cara blend cerita ketiganya kurang smooth. Beberapa bab hanya bahas Calya dan Isvara, lalu Afreen muncul di bab selanjutnya secara terpisah. Seolah konflik ceritanya muncul secara acak gitu. Kayaknya lebih keren kalau permasalahan masing-masing ini punya benang merah yang jelas.

Anyway, plis siapin mental dan kalau bisa jangan baca ini pas puasa karena bakal berpotensi bikin mulut (atau hati) refleks misuh-misuh.

Btw, epilog-nya bikin bingung. I mean, kayak tiba-tiba banget dibikin begitu. Yang awalnya udah tenang, malah jadi bingung maksudnya apa. Clue-nya udah tersebar, kah? Dunno, mungkin aku memang ngelewatin clue-nya atau murni nggak ngeuh, tapi merusak suasana banget sih, epilognya.
Love On The Second Read by Mica De Leon

Go to review page

funny informative lighthearted relaxing medium-paced
  • Plot- or character-driven? Character
  • Strong character development? N/A
  • Loveable characters? Yes
  • Diverse cast of characters? Yes
  • Flaws of characters a main focus? Yes

3.5

Emma menangani bagian romansa, sedangkan Kip sciene-fiction dan fantasi. Dua bagian yang biasanya bertolak belakang dan kebetulan Emma membanci Kip. Sampai salah satu penulis potensial favorit Emma (dan penerbit) menyetorkan naskah sci-fi dengan sentuhan romansa. Genre yang baru untuk si penulis.

Kepala redaksi mengarahkan agar naskah itu diserahkan ke Kip yang lebih cocok dengan genre, tapi Emma tidak setuju karena penulisnya baru mengalami writer's block selama berbulan-bulan dan takut kabur jika harus dieditori Kip yang terkenal bermulut (atau berkomentar) pedas.

Keputusan final dan Emma jelas kecewa. Tapi, anehnya Kip yang selalu adu ledek literasi dengannya mendadak jadi kalem dan rela-rela saja harus berbagi naskah yang sama. Lebih aneh lagi, Emma merasakan kupu-kupu terbang ketika perhatian Kip melebihi hari biasa.

Trope favorit sebenarnya. Enggak ada tapi, hanya beberapa bagian yang bagiku kurang klik saja. Karakter Emma dan Kip nggak ada yang aneh atau gompal. Bagian Kip nggak bisa terima posisinya di nomor dua bukan hal yang aneh mengingat masa lalunya (walaupun kalau dipikir-pikir dari sisi keluarganya kurang digali). Emma juga oke-oke aja walaupun bagiku dia nggak bisa tegas ke mantannya yang toxic itu. Eh, alasan putusnya kurang jelas. Cuma dari penuturan Emma, jadi rasanya jomplang.

Adu kutipannya terasa nggak relate. Well, untuk ukuran orang yang terobsesi dengan membaca, bacaanku nggak bisa dibandingkan dengan Kip dan Emma (apalagi ortunya Kip!). Lebih indahnya lagi, kelihatan nggak ada unsur book shaming di sini, walaupun Emma dan Kip punya bidang editing yang berbeda. Kip baca novel-novel romance, Emma juga baca novel sci-fi.

Yah, cuma itu yang bisa kureviu. Mungkin kalau aku langsung reviu setelah baca bakal lebih banyak poin yang dibahas, tapi kelamaan ngendon jadi lupa mau ngoceh apa aja. Romance yang menyenangkan, meskipun nggak menggebu-gebu.